Sungguh benar perumpamaan
perempuan dengan tanah, kedua makhluk ini adalah “khalifah” Tuhan untuk
melestarikan kehidupan, dari keduanya pula segala keberlangsungan hidup
berasal. Karena itu, perempuan dan tanah ditautkan oleh hubungan emosi
yang sangat kuat. Apabila salah satu di antara mereka disakiti yang
lainnya tergerak untuk melakukan pembelaan. Ketika kelestarian tanah
terancam kaum perempuan berdemonstrasi di garda depan.
Pergerakan perempuan inilah yang terjadi di Pulau
Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kabupaten Timur Tengah Selatan. Tanah
Kabupaten itu membentuk gundukan pegunungan yang indah dan mengandung
kekayaan marmer sehingga sangat menggiurkan bagi kaum penjarah untuk
mengeruknya. Dan kaum perempuan di sana—disebut oleh Kelik
Ismunandar—“para mama”i
tak hanya mengasuh anak, namun juga mengasuh tanah. Perjuangan kaum
perempuan yang berontak: melawan dan menolak pertambangan marmer.
Seorang dari “para mama” itu yang termasyhur bernama
Aleta Ba’un yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk gerakan perlawanan.
Aleta Ba’un akrab disapa Ma Leta. Ia adalah koordinator pejuang
perempuan bagi masyarakat Molo untuk menolak buldozer-buldozer yang akan
menggusur pegunungan Molo. Perempuan 42 tahun ini mengisahkan
perjalanan hidupnya kepada Yayasan Jurnal Perempuan setelah menerima
Anugerah Saparinah Sadli 2007, Agustus tahun lalu.
“Tanah tidak melahirkan tanah, manusia akan bertambah
banyak, namun tanah akan semakin sempit,” tutur Ma Leta menjelaskan
alasan pergerakannya kepada Nur Azizah, Kontributor Yayasan Jurnal
Perempuan.
Ma Leta sadar tanah kelahirannya yang mempesona,
namun juga bisa mendatangkan bencana. Pegunungan Molo yang terletak di
Kabupaten Timur Tengah Selatan terdiri dari 63 gunung yang diperkirakan
mengandung 3,5 trilyun meter kubik marmer. Bila gunung-gunung itu
dikeruk berakibat fatal. Bagi Ma Leta, Molo adalah jantung Nusa Tenggara
Timur kalau tanah di Molo rusak, maka seluruh penduduk di Pulau itu
akan memperoleh dampak buruknya.
“Molo adalah jantung dan daerah tangkapan air bagi
seluruh NTT. Kalau kejahatan pengrusakan sumber daya alam dibiarkan di
Molo, mau tak mau NTT akan mengalami kesulitan terutama kekeringan
karena dia sumber mata air yang mengalirkan air hingga ke hilir. Dia
sebagai hulu dari NTT dan orang selalu mengatakan Molo adalah jantung
NTT,” katanya.
Riwayat hidup masyarakat di Molo akan musnah. Di
Pegunungan itu terdapat 5 kecamatan dan 42 desa dengan jumlah keluarga
tiga ribu sampai empat ribu.
Untuk mengorganisir pelawanan dibentuklah sebuah
organisasi bernama OAt (Organisasi Ataimamus) yang berasal dari
kesepakatan tokoh-tokoh adat di sana. Menurut pengakuan Ma Leta
masyarakat adat juga pecah, mereka yang menolak penambangan, dan mereka
yang menerima. Karena ijin penambangan sebelum adanya kesadaran
masyarakat Molo untuk melawan juga keluar dari proses adat.
Perusahaan penambangan berhasil memecah masyarakat
adat di Molo. Kaum bangsawan yang terdiri dari raja-raja didekati dan
setuju dengan penambangan itu. Sedangkan tokoh-tokoh masyarakat yang
membentuk majelis permusyawaratan adat Molo sangat menentang keras.
Melalui permusyawaran tokoh-tokoh adat di sana mereka mendirikan OAt
sementara Ma Leta dipercaya sebagai koordinatornya.
Ma Leta hanya lulus SMA, ia mulai mengenal dunia
pergerakan dari sebuah yayasan yang peduli terhadap masalah-masalah
perempuan di NTT, namanya Yayasan Sanggar Suara Perempuan (SSP). Ma Leta
aktif sejak tahun 1993. Namun ketika tanah kelahirannya dirongrong
pengusaha pertambangan, ia merasa terpanggil oleh suara-suara tanah di
sekitarnya yang terus menjerit. Pada tahun 2004, Ma Leta memutuskan
keluar dari Yayasan Sanggar Suara Perempuan dan berkosentrasi dalam
pergerakan melawan pengrusakan lingkungan.
Bagi Ma Leta, ada hubungan yang sangat kuat kekerasan
dalam rumah tangga dan seksualitas dengan kekerasan yang berasal dari
rusaknya lingkungan dan krisis ekonomi. “Sumber kekerasan ini muncul
ketika pangan dalam satu rumah tangga itu tidak dipenuhi. Dan bebannya
akan menumpuk pada kaum perempuan,” katanya.
Dan kunci utama bagi Ma Leta untuk mengurangi
kekerasan terhadap perempuan terletak pemenuhan pangan dan perlindungan
terhadap lingkungan. “Pangan dan sumber daya alam kalau tidak diganggu,
perempuan akan sejahtera, karena segala kebutuan hidup masyarakat telah
terpenuhi, kalau pangan dan kebutuhan ekonomi tercukupi maka kekerasan
terhadap kaum perempuan akan menurun dengan sendirinya,” tutur Ma Leta.
Perjuangan Ma Leta ini merambah medan yang sangat
berbahaya. Sejak memutuskan untuk melawan, pola hidup Ma Leta sangat
berubah bila dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Ia tak lagi bisa
dijumpai di rumahnya. Riwayatnya bukan lagi hanya sebagai ibu rumah
tangga saja namun sebagai perempuan yang terus berjuang dan bergerilya:
keluar masuk kampung, naik-turun gunung, dan lebih banyak hidup di hutan
serta pengungsian. Ma Leta menjadi taget sasaran perusahaan
pertambangan, ia dicari-cari dan dikerjar-kejar oleh preman yang menurut
pengakuanya dibentuk perusahaan dan pemerintah daerah untuk
menghentikan perlawanan organisasi adat yang dipimpinya.
Karena menjadi target buruan, Ma Leta pernah harus
dievakuasi. Pada bulan April 2007 saat ia baru pulang dari sebuah
kampung untuk pulang, preman-preman itu melakukan sweeping di
jalan-jalan untuk mencarinya. Ia terpaksa bersembunyi di kolong
jembatan, namun ketahuan juga, dia peras setelah kaki kanannya dibacok.
Selanjutnya Ma Leta harus dievakuasi oleh pada aktivis PIKUL (Penguatan
Institusi dan Kapasitas Lokal).ii
“Selama memimpin masyarakat, saya selalu
diintimidasi, selalu dikejar, kaki kanan saya dibacok. waktu itu saya
juga lari bersembunyi di kolong jembatan, preman itu memeras minta uang
400 ribu, agar nyawa selamat saya serahkan uang 200 ribu yang saya punya
waktu itu,” kata Ma Leta sambil menunjukkan bekas bacokan di kaki
kanannya.
Kekerasan fisik terus dialami Ma Leta. Ia pernah
dipukul di depan kantor pengadilan karena berani menggerakkan masyarakat
untuk menggugat bupati. Rumahnya dilempari batu oleh para preman, kaca
jendela pecah, sehingga ia berserta suami dan anak-anaknya terpaksa
mengungsi hingga saat ini. Ma Leta memiliki tiga orang anak, yang
pertama kelas tiga SD, yang kedua kelas satu SD dan ketiga masih berumur
satu tahun lebih. Suatu hari suaminya, yang seorang guru, pernah
menjadi sasaran teror pembunuhan. Sang suami, Godlif Sanam, pun
memprotes dan meminta Ma Leta mengakhiri perjuangannya. “Tapi, setelah
saya berikan pengertian, ia pun ikhlas mendukung perjuangan saya sampai
titik darah terakhir.”
Tak hanya kekerasan fisik, Ma Leta juga menjadi
sasaran pembunuhan karakter. Hidupnya yang tak pernah di rumah, selalu
berpindah-pindah dan tak mengenal waktu, ia dituding oleh lawannya
sebagai perempuan yang suka keluar malam, sundal, dan pelacur. Ia juga
pernah difitnah lari dengan suami orang.
Segala resiko perjuangan dihadapi oleh Ma Leta dengan
penuh sabar dan tegar. Ia pun bisa memetik romantisme dari pengamannya
sebagai perempuan pergerakan. Kehidupannya bersama keluarga sekarang
menurut Ma Leta, kadang dianggapnya lucu. “Saya seperti belajar pacaran
lagi dengan suami, karena kalau ketemu dengan suami hanya beberapa jam.
Bertemunya pun di rumah orang, datang malam, pisah tengah malam.”
Namun juga sebagai manusia biasa, sebagai perempuan
dan ibu, Ma Leta tetap merindukan keluarga, kedamaian, dan ketenangan.
“Saya sebenarnya sangat rindu pada anak dan suami, namun persoalan ini
tidak bisa membuat saya kembali ke rumah secepatnya. Dampak dari
pengrusakan lingkungan ini secara pribadi akan menimpa suami dan anak
saya, tapi biarlah saya yang berkorban daripada anak dan suami yang
memang tidak tahu banyak hal.”
Ma Leta sangat mengenal kearifan orang Molo memandang tanah mereka. Dalam masyarakat itu dikenal filosofi “uim bubu” (ume = rumah) yang berdiri kukuh dengan amnesat, nij, dan tefi. Amnesat berarti dasar, yang diibaratkan sebagai oekanaf (air), yang penyangganya adalah fatukanaf dan haukanaf (batu dan kayu). Nij adalah tiang, yang diibaratkan sebagai afu (tanah), yang merupakan tempat bertanam, beternak, dan mendirikan rumah. Dan tefi berarti atap, yang diibaratkan sebagai pena nok ane (jerih payah) yang diperoleh dari hasil pemanfaatan oekanaf, fatukanaf, haukanaf, serta afu.
Filosofi di atas meneguhkan bahwa Molo tidak bisa dipisahkan dari
tanah, hutan, air, batu, kayu, serta binatang-binatang yang hidup di
dalamnya.iii
Ma Leta adalah seorang feminis sejati,
ia berjuang menggunakan bahasa dan cara perempuan. Komentar-komentarnya
tentang “tanah yang tak bisa melahirkan tanah”, kelestarian alam yang
dihubungan dengan jati diri perempuan adalah alasan dan bahasa dia dalam
menggerakan kelompok perlawanan.
“Perempuan selama ini mungkin dianggap tak berdaya
untuk berjuang, berbicara, dan mengambil keputusan apa-apa, mereka
dikira tak mampu melawan siapa-siapa, tapi ketika mereka punya sumber
daya alam diambil, tanah mereka dirampas, air mereka diganggu, itu
seperti mencopot nyawa mereka,” tegas Ma Leta.
Pun dalam cara penentangan ia adalah perempuan
sejati: mengumpulkan perempuan-perempuan lain di Molo untuk bergerak.
Mereka berdemo sambil mengeluarkan payudara mereka. Kata Ma Leta, “pada
waktu aksi-aksi demo, perempuan-perempuan di Molo mengeluarkan
payudaranya untuk menunjukkan kalau tanah kami diambil sama dengan air
susu ibu diambil, dan kami tidak akan bisa menyusui lagi.”
Karena perjungannya itu pula, Ma Leta pernah menjadi
kandidat penerima hadiah Nobel tahun 2005 bersama seribu kandidat
perempuan lainnya. Juni 2007, ia mendapat kehormatan bertemu dengan Hina
Jilani, Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar