BAB
I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang Penelitian
Indonesia merupakan bagian dari dunia Internasional,
setiap negara dipastikan menjalin hubungan kerjasama dengan negara lainnya guna
mengadakan dan meningkatkan transaksi-transaksi yang saling menguntungkan antar
negara. Transaksi internasional berupa import barang dari luar negeri, eksport
barang ke luar negeri Adalah merupakan bagian dari transaksi perdagangan
internasional. Transaksi tersebut tentunya mengakibatkan salah satu penduduk
dari salah satu negara yang bersangkutan memperoleh penghasilan. Penduduk yang
memperoleh penghasilan tersebut disebut subjek pajak, sedangkan hasil yang
diperoleh oleh penduduk tersebut adalah objek pajak. Disamping kerjasama
ekonomi berupa perdagangan, kerjasama antar negara juga menyangkut kerjasama
lainnya seperti kerjasama di bidang politik, keamanan dan
kerjasama
dibidang sosial budaya lainnya. Setiap kerjasama tersebut tentu harus disepakati
antar negara yang berkepentingan guna mencapai komitmen bersama yang telah disepakati,
dalam bentuk perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan antar negara
tersebut, termasuk yang berkaitan dengan aspek perpajakan. Setiap penduduk
asing di seluruh dunia, tidak ada larangan apabila mereka ingin menjalin
kerjasama maupun melakukan usaha di Indonesia ataupun juga menanamkan modal di
Indonesia, atas hasil yang diterima penduduk asing tersebut, dapat dikenakan pajak
di negara Indonesia. Pengenaan pajak yang dilakukan di negara Indonesia dapat dilakukan
dengan kewenangan yang dimiliki negara Indonesia sebagai pemegang kedaulatan
hukum dan wilayah, namun demikian harus mempertimbangkan aspek perekonomian
nasional dan hubungan kerjasama antar negara. Transaksi antar ke dua negara
atau beberapa negara dapat menimbulkan aspek perpajakan, hal ini perlu diatur dan
disepakati oleh kedua negara yang bersangkutan ataupun di seluruh dunia guna meningkatkan
perekonomian dan perdagangan antar negara, agar tidak menghambat investasi
penanaman modal asing akibat pengenaan pajak berganda yang akan memberatkan
wajib pajak yang berkedudukan di kedua negara yang mengadakan transaksi
tersebut. Untuk itu diperlukan adanya kebijakan pajak internasional untuk mengatur
hak pengenaan pajak yang berlaku di suatu negara, dimana setiap Negara dipastikan
mengatur adanya pajak di wilayah kedaulatan negara tersebut. Dalam pajak
internasional,
setiap negara memiliki kewenangan memajaki seluruh penghasilan yang diperoleh
atau diterima wajib pajak yang berasal dari wilayahnya sesuai dengan ketentuan
peraturan yang berlaku di negara tersebut (tax jurisdiction). Dan Pajak internasional
merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap Negara mau tidak
mau harus tunduk pada kesepakatan dunia intenasional yang sering disebut Konvensi
Wina.
Contoh : PT. X telah mendirikan dan menjalankan
usaha di Indonesia, selama beroperasi, terdapat beberapa investor luar negeri
yang menanamkan sebagian sahamnya, dan bekerja di perusahaan tersebut. PT.X
membayar dividen kepada investornya dan dividen yang dibayarkan dikenakan tarif
pasal 26. Namun,investor luar negeri dapat memanfaatkan ketentuan tarif P3B
Indonesia di negeranya. Berdasarkan keterangan diatas, penulis mengambil
pembahasan tentang pajak internasional, terutama kaitannya dengan persetujan
penghindaran pajak berganda karena, pengetahuan masyarakat tentang pajak
internasional dirasa kurang memadai, karena hanya sedikit jumlah wajib pajak
yang terlibat dalam transaksi internasional. Sebagian masyarakat atau wajib
pajak yang tidak memahami pajak internasional mungkin wajar, karena penduduk
Indonesia pada umumnya bukan merupakan subjek pajak yang terkait dengan aspek
pajak internasional. Akan tetapi alangkah bagusnya jika kita mau mempelajari
tentang perpajakan yang terkait dengan penghasilan penduduk kita di negara lain,
atau penduduk negara lain apabila memperoleh penghasilan di Negara kita. Hal
ini akan berguna manakala kelak atau saat ini kita bersinggungan atau bahkan berkaitan
langsung dengan subjek pajak yang berasal dari negara lain. Berdasarkan pertimbangan
dan uraian tersebut, penulis merasa tertarik untuk mengangkat penulisan dan
menganalisa tentang “ANALISIS TARIF BERDASARKAN PADA PERSETUJUAN PENGHINDARAN
PAJAK BERGANDA OLEH WAJIB PAJAK LUAR NEGERI DAN ATAU BUT (STUDI KASUS PADA PMA
5 UNTUK TAHUN PAJAK 2010)”
I.2
. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah
diatas,permasalahan yang ingin diangkat dalam penelitian ini Adalah :
1.
apakah wajib
pajak luar negeri lebih memilih menerapkan tarif sebagaimana tercantum dalam
P3B atau tidak?
2.
Seberapa
beesar perbandingan antara wajib pajak luar negeri yang menerapkan ketentuan
P3B dengan yang tidak?
I.3
Tujuan Penelitian adalah :
Berdasarkan
masalah yang telah diidentifikasi, penelitian ini berusaha menjelaskan tujuan
yang hendak dicapai dalam penelitian ini Adalah
1. Untuk
mengetahui apakah wajib pajak luar negeri lebih memilih menerapkan ketentuan tarif
pajak P3B atau tidak.
2. Untuk
mengetahui tingkat perbandingan antara wajib pajak luar negeri menerapkan tarif
pajak berdasarkan P3B dengan yang tidak.
I.4
Manfaat Penelitian :
1.
Bagi dunia usaha pada umumnya diharapkan mendapatkan kepastian hukum, karena
membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili.
2.
Bagi penulis sendiri, penulisan skripsi ini merupakan sarana untuk menambah
pengetahuan mengenai perpajakan, terutama yang berkaitan dengan pajak
internasional dan untuk mengetahui dan membahas penerapannya di Indonesia.
3.
Bagi masyarakat, diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan informasi yang
berguna sehingga kelak apabila masyarakat bersinggungan dengan transaksi
internasional, telah memiliki pengetahuan yang memadai tentang kewajiban
perpajakan di kedua negara atau lebih sehingga masalah yang dihadapi menjadi
jelas dan dapat terdeteksi sedini mungkin.
1.5
Sistematika Pembahasan
Dalam
penulisan skripsi ini, sistematika pembahasannya dibagi menjadi lima bab,
dengan urutannya
sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan
Bab ini akan memuat
uraian mengenai latar belakang penelitian, pembatasan
masalah, metodologi
penelitian, dan sistematika pembahasan .
Bab II : Landasan Teori
Dalam bab ini berisi
tinjauan pustaka tentang teori-teori yang berhubungan dengan masalah yang akan
dibahas.
Bab III : Penyajian
Laporan dan Perhitungan Pajak Penghasilan pada
bab ini berisikan menjelaskan uaraian tentang metode penelitian, teknik
pengumpulan data dan metode analisis data.
Bab IV : Analisa
Penerapan Tax Treaty Terhadap PT. EMI Indonesia
Bab ini akan memuat
analisis dan evaluasi yang dilakukan penulis atas uraian yang
terdapat di dalam bab
III berdasarkan landasan teori dalam bab II.
Bab V : Simpulan dan
Saran
Bab ini akan memuat
kesimpulan dari pembahasan dalam bab-bab sebelumnya
serta saran dari
penulis yang sekiranya bermanfaat dalam kaitannya dengan pembahasan
topik
skripsi.
BAB II
KERANGKA TEORITIS
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Pajak Berganda Internasional
Definisi pajak berganda
Pajak berganda internasional dapat
didefinisikan dalam arti luas dan arti sempit. Menurut Gunadi (2007:111):
“dalam
arti luas, pajak berganda meliputi setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan
lainnya lebih dari satu kali yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta
fiskal dan dalam arti sempit pajak berganda internasional dianggap dapat
terjadi pada semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu objek dan/atau objek
pajak dalam satu administrasi pajak yang sama.
Persetujuan penghindaran pajak berganda
OECD model membedakan antara pajak berganda yuridiksi dengan pajak ganda
ekonomis. Menurut Gunadi (2007:111):
“pajak
berganda yuridiksi terjadi apabila atas penghasilan yang sama yang diterima
oleh orang yang sama dikenakan pajak dikenakan oleh lebih dari satu negara,
sedangkan pajak berganda ekonomis terjadi apabila dua orang yang berbeda
(secara hukum) dikenakn pajak atas suatu penghasilan yang sama (atau identik)”.
Menurut Jaja Zakaria (2005:5)
Pajak berganda (internasinal) diartikan
sebagai pengenaan jenis pajak yang sama oleh dua (atau lebih) terhadap dan atas
objek pajak yang sama, serta dalam peride yang identik. Dapat pula diartikan
sebagai pengenaan jenis pajak yang sama oleh dua negara (atau lebih) terhadap
subjek pajak yang berlainan atas objek pajak yang sama.
2.1.2 Unsur-unsur Pajak Berganda Internasinal
Menurut Gunadi, apabila pemajakan berganda (multiple) dilakukan oleh
beberapa administrasi pajak (berdasarkan yuridiski pemajakan domestictiap
Negara) maka terdapat pajak berganda internasioanal (international double
taxation). Secara teoretis dan normative, istilah pajak berganda internasional
meliputi beberapa unsur, antara lain:
1. Pengenaan
pajak oleh beberapa otoritas pemajakan terhadap kriteria identitas.
2. Identitas
subjek pajak (wajib pajak yang sama
3. Identitas
objek pajak (objek yang sama)
4. Identitas
masa pajak
5. Identitas
(atau kesamaan) pajak
2.1.3 Upaya Penghindaran Pajak Berganda
Sebagai
akibat terdapatnya aspek-aspek pajak ganda yang tidak dapat dipecahkan secara
unilateral (sepihak), maka diperlukan adanya upaya lain untuk menghindari
terjadinya pajak berganda yaitu melalui
perjanjian perpajakan (Jaja Zakaria 2005:11). Perpanjian perpajakan dapat
berupa perjanjian dengan banyak negara dan dapat berupa perjanjian antar dua
negara saja. Terdapat beberapa pendekatan untuk menghilangkan atau mengurangi
terjadinya pajak berganda internasional. Beberapa pendekatan tersebut adalah
bilaterall dan multilateral.
Pendekatan bilateral melibatkan dua negara,
sedangkan pendekatan multilateral lebih dari dua negara. Secara regional
(negara-negara skandinavia), negara yang berada dalam satu dapat menutup P3B
secara bersama sama karena keringanan P3B dapat lebih bersifat harmonisasi
ketentuan perpajakan negara negara terkait (Gunadi 2007:119). Perjanjian pajak
internasional ini secara lebih luar diharapkan dapat membantu pergerakan
ekonomi, sosial budaya, hukum, moral, barang dan jasa, teknologi, dan
lain-lain.
2.1.4 persetujuan penghindaran
pajak berganda (P3B)
Persetujuan
penghindaran pajak berganda (selanjutnya disingkat P3B) dikenal juga dengan istila perpajakan atau Tax
Treaty. P3B ini pada umumnya merupaka kesepakatan bilateral dua negara tentang
bagaimana mengatur pengenaan pajak yang memiliki dimensi internasional dua
negara yang melakukan kesepakatan itu agar tidak terjadi pengenaan pajak secara
berganda, pengaturan ini menjadi penting menjadi beb an pajak yang ditangung
oleh orang tau badan yang menjalin transaksi antar negara akan terpengaruh
kepada keputusan investasi dan pemodalan.
2.1.4.1 Pengertian P3B
Treaty memiliki makna suatu
persetujuan internasional yang disepakati antara negara dan dibuat untuk
kepentingan publik. Untuk menghindari pengenaan pajak secara berganda dibuatlah
suatu perjanjian yang dikenal dengan perjanjian penghindaran pajak berganda
(P3B). Sementara itu pengertian Tax Treaty atau P3B itu sendiri adalah
perjanjian pajak antar dua negara secara bilateral (Anang Mury 2011: 155).
menurut Surrey (1980) didalam Gunadi (2007: 183) P3B adalah:
“ perjanjian bilateral (namun dalam
kasus tertentu bisa menjadi multilateral) yang ditutup oleh dua negara untuk
menentukan solusi terhadap pajak berganda internasional yang dibebaskan oleh
implementasi hak pemajakan (berdasarkan ketentuan domestik) kedua negara atas
suatu objek (subjek) yang sama”.
2.1.4.2 Dasar Hukum P3B
Di Indonesia, P3B diatur dalam pasal 32A undang
undang nomor 7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
undang-undang nomor 36 tahun 2008. Kedudukan P3B berdasarkan ketentuan ini
adalah lex specialist terhadap undang-undang domestik. Dengan demikian jika ada
ketentuan dalam undang-undang domestik bertentangan dengan ketentuan dalam P3B
maka yang dimenangkan adalah ketentuan P3B. Sementara itu, proses pembentukan
P3B seperti proses pebdekatan, perundingan, ratifikasi serta pemberlakuannya
tunduk kepada undang undang nomor 24
tahun 2000 tentang perjanjian internasioanal yang menyatakan bahwa pemerintah
republik indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau
lebih, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para
pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan tujuan yang
sama menguntungkan dan baik.
2.1.4.3 Asas Pengenaan Pajak Penghasilan
Asas pengenaan pajak atas suatu objek pajak yang
dilakukan oleh subjek pajak umumnya dibagi menjadi tiga. Pertama adalah asas
sumber. Negara yang mengenakan asas sumber akan mengenakan pajak berdasarkan
tempat sumber panghasilan itu berasal. Negra yang menjadi sumber objek
penghasilan terkenal dengan negara sumber.
Kedua adalah sumber domisili subjek
pajak dikenakan pajak di negara tempat sumber pajak tersebut berdomisili (anang
Mury, 2011). Umumnya yaitu negara akan menerapkan prinsip wourd wide income
(WWI). WWI penghasilan akan dikenkan pajak di negara domisili baik penghasilan
berasal dari dalam maupun luar negeri.
Ketiga adalah asas kewarganeragaraan
yaitu pengenaan pajak didasarkan kepada status kewarganegaraan seeorang.
Seseorang yang menganut asa kewarganegaraan akan dikenakan pajak di negara
tempat subjek pajak tersebut terdaftar sebagai warga negara, walaupun
penghasilannya berasal dari luar negeri.
Baik negara sumber maupun negara
domisili berhak untuk mengenakan pajak berdasarkan undang undang domestiknya.
Pengenaan pajak oleh dua yuridiski perpajakan terhadap satu jenis penghasilan
inilah yang menimbulkan pajak berganda sehngga perlu ditur dalam suatu
persetujuan antara negara sumber dan negra domisili.
2.1.4.4 Tujuan P3B
P3b dimaksudkan terutama untuk
menghilangkan pajak berganda (double tax). Pajak berganda ini timbul karena dua
negara mengenkan pajak atas penghasilan yang sama terhadap subjek pajak yang
sama. Ketentuan-ketentuan dalam P3B yang dimaksudkan uintuk mencegah pengenaan
pajak berganda.
Selain untuk mencegah pajak berganda,
P3B juga dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax
avoidance) dan pengelakan pajak (tax evasion).
Menurut Jaja Zakaria (2005:25) fungsi
utama perjanjian pajak adalah:
a. Untuk
penghindaran pajak ganda dan pencegahan penyeludupan pajak
b. Khusus
dilihat dari kepentingan negarayang sedang berkembang untuk mendorong arus
penanaman modal, teknologi, keahlian, dan perdagangan ke negaranya.
c. Khusus
dilihat dari kepentingan wajib pajak, adanya suatu kepastian untuk beberapa hal
penting
Fungsi
lain adalah:
a. Dapat
mempermudah dan memperlancar transaksi ekonomi antar negara
b. Adanya
pemecahan mengenai alokasi penghasilan dengan memberikan suatu metode pemajakan
yang sederhana
c. Adanya
pembagian penerimaan pajak
d. Adanya
pencapaian suatu tingkat pemajakan yang pantas
e. Mempertinggi
kerjasama antar negara di bidang teknik, ekonomi dan cultural.
f. Menambah
pengalaman teknis dan memperluas pengetahuan, khususnya dalam hukum pajak
internasianal bagi pejabat pejabat yang berwenang dari kedua negara yang
bersangkutan
Jika
tujuan-tujuan tersebut tentu saja pada akhirnya P3B dapat menghilangkan
hambatan dalam lalua lintas perdagangan, modal dan investasi antar negara
sehingga pada akhirnya dapat dicapai kesejahteraan suatu negara karena sumber
daya dialokasikan secara efisien.
2.1.4.5 Penerapan P3B
Berdasarkan ortax.org saat ini sudah ada sekitar 59
P3B Indonesia dengan negara lain yang sudah berlaku efektif. Jumlah ini akan
terus bertambah karena da beberapa P3B lagi yang sudah berlaku efektif tetapi
msh dalam prosesperundingan, penandatanganan, ratifikasi atau proses
pemberlakuan.
Beberapa ketentuan pelaksanaan
terkait pelaksanaan dan penerapan P3B ini adalah ketentuan tentang tata cara
penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda yang ditur dalam Peraturan
Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-61/PJ/2009, ketentuan tentang pencegahan
penyalahgunaan penghindaran pajak berganda yang diatur dalam Peraturan Direktur
Jenderal pajak nomor PER-62/PJ/2009, dan PER-24/PJ/2010 perubahan atas
peraturan Direktur Jenderal pajak nomor tentang tata cara penerapan persetujuan
penghindaran pajak nerganda dan PER-35/PJ/2010 tentang surat keterangan
domisili bagi subjek pajak dalam negri dalam rangka penerapan persetujuan
penghindaran pajak berganda, dan SE-03/PJ-03/2008 tentang penentuan status
beneficial owner sebagaimana dimaksud dalam persetujuan penghindaran pajak
berganda antar Indonesia denagn negara mitra.
2.1.4.6 Model P3B
Pada dasarnya P3B terdiri dari 2
model yaitu OECD dan UN model. OECD model ketentuan-ketentuan didalam
perjanjiannya secara umum diberikan kepada negara domisili sedangkan UN model
ketentuan-ketentuan dalam perjanjiannya secara umum diberikan kepada negara
sumber. Contoh objek pakjak terkait PPh pasal 26 yaitu royalti. Berdasarkan
informasi diatas dalam P3B Indonesia dengan negara-negara maju hak pemajakan
diberikan pada negara mitra namun dapat juga dikenakan pajak oleh negara sumber
berdasarkan ketentuan P3B. Menurut Danny Darussalam et.al. (2010).
“apabila terdapat wajib pajak luar
negri yang merupakan negara berkembang berarti menggunakan UN model sebagai
dasarnya maka berdasarkan pasal 12 ayat(1) UN Model memberikan hak pemajakan
terbatas kepda negara sumber atas penghasilan royalti”.
2.1.5 Beneficial Owner
Pemilik manfaat (Beneficial
Owner) adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa deviden, bunga,
dan/atau royalti, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat
penghasilan-penghasilan tersebut. Dengan demikian, apabila penerimaan
penghasilan dividen, bunga dan/atau royalti bukan beneficial owner, maka sesuai
dengan ketentuan P3B, negara sumber berhak mengenakan pajak sesuai dengan
ketentuan perundanf undangan di negara tersebut.
2.1.6 Surat Keterangan Domisili
Surat keterangan domisili (SKD) atau
certificate of Residense (COD) digunakan dalan kaitannya dengan penghindaran
pajak berganda (P3B). SKD digunakan untuk membuktikan bahwa wajib pajak
tertentu Adalah subjek pajak dalam negri (residence)dari suatu Negara tertentu
yang menandatangani P3B. dengan demikian SKD tersebut harus diterbitkan oleh
Negara dimana seseorang atau badan terdaftar sebagai wajib pajak dalam negri.
Sementara itu Negara lain yang merupakan Negara sumber penghasilan akan
mengenalkan tariff sesuai P3B jika orang atau badan tersebut dapat menunjukan
SKD dari Negara mitra P3B nya.
2.1.7 Penerbit SKD
SKD diterbitkan atau disahkan oleh
Direktur Jendral Pajak melalui KPP Domisili berdasarkan permohonan wajib pajak
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atai domisili wajib pajak orang
pribadi terdaftar atau tempat kedudukan wajib pajak terdaftar. KPP domisili
menerbitkan SKD dalam waktu paling lama 5(lima) hari kerja setelah menerima permohonan
wajib pajak secara lengkap. Formulir SKD yang diterbitkan Adalah form DGT-7
BAB III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
metoda penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini Adalah metode deskriptif. Dengan metode ini diharapkan dapat
memperoleh gambaran mengenai data yang dikumpulkan kemudian diolah dan dapat
dikupas permasalahannya. Dengan menggunakan metoda deskriptif peneliti mencoba
memanfaatkan data sekunder diolah dan dikembangan sesuai judul yang ditetapkan.
Penelitian deskriptif Adalah penelitian yang berusaha untuk menuturkan
pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, termasuk juga
penyajian data, menganalisis, dan menginterpretasikannya.
3.2 Variabel dan Pengukuran
Variable-variabel yang digunakan dalam
menyusun skripsi ini Adalah :
1. PPh
pasal 26 PPh
Pajak penghasilan pasal 26 adalah pph yang
dikenakan/dipotong atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak (WP) luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di
Indonesia.
2. Penghasilan
Penghasilan merupakan nilai tambah ekonomis yang
dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia.
3. Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda
kesepakatan bilateral dua negara tentang
bagaimana mengatur pengenaan pajak yang memiliki dimensi internasional dari dua
negara yang melakukan kesepakatan itu agar tidak terjadi pengenaan pajak secara
berganda.
4. Tarif
Pajak
Tarif pemotongan atas PPh pasal 26 pajak
sebagaimana yang dimaksud dalam UU PPh pasal 26, kecuali diatur lain
berdasarkan Persetujuan Pngehindaran Pajak Berganda (P3B).
5. Peraturan
pelaksanaan
Peraturan pelaksanaan dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak yang digunakan sebagai salah satu dasar untuk
menentukan apakah Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dapat dihindari atau
tidak.
3.3 Pembatasan Penelitian
Pembatasan penelitian
digunakan sebagai acuan penuis dalam menyusun skripsi. Pembatasan penelitian
penulis gunakan agar pembahasan skripsi ini tidak keluar dari tema yang telah
ditetapkan. Penulis membatasai penelitian ini untuk mengetahui apakah WPLN
lebih memilih memanfaatkan reducate rate sesuai
ketentuan P3B atau tidak. Disamping itu untuk melihat seberapa besar WPLN yang
memanfaatkan reducate rate dibandingkan dengan yang tidak memanfaatkan.
3.4 Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data
dilakukan dengan cara :
a. Studi
pustaka
Memperoleh Teori-teori yang
mendasari masalah dan bidang yang akan diteliti. Antara lain diperoleh dari
buku-buku perpajakan internasional, UU PPh, peraturan pelaksanaan, peraturan
menteri keuangan atau keputusan menteri keuangan, keputusan Direktur Jenderal
Pajak, dan surat edaran Direktur Jenderal Pajak.
b. Studi lapangan
Melakukan penelitian data yang
bersumber dari kantor KPP PMA 5. Cara yang digunakan penulis dalam melakukan
penelitian lapangan Adalah :
c. Observasi
Teknik pengumpulan data secara
langsung di lapangan
d. Wawancara
Memperoleh informasi dengan
mewawancarai atau Tanya jawab secara langsung kepada petugas pajak yang
bersangkutan.
e. Dokumentasi
Pengumpulan berbagai data antara
lain berupa dokumen, catatan dan data lain yang tidak bersifat rahasia.
3.5
Metoda Analisis Data
Setelah
semua data yang berhubungan dengan permasalahan penelitian terkumpul, penulis
mengolah data dengan menyusun, membuat table-tabel, menghitung, menganalisis,
membandingkan, data dan informasi yang telah dikumpulkan, kemudian data-data
tersebut dianalisis dengan metoda deskripdtif, yaitu suatu proses pengamatan
terhadap penerapan tariff pajak terkait obejk PPh pasal 26 dan P3B yang
dilakukan dengan mengumpulkan dan mengolah perhitungan pendapatan pajak PMA 5.