1. Bila perekonomian berada pada kondisi
deficit eficien balance of payment (bop) maka kebijakan moneter yang ketat
dikombinasikan dengan kebijakan fiscal yang kontraktif akan dapat memperbaiki
perekonomian, benar, salah/tidak
pasti !
Jawaban
: benar
Dalam teori Keynesian, kebijakan
fiskal dan moneter secara efektif mempengaruhi output riil. Kebijakan fiskal
yang ekspansif, yaitu melalui stimulus fiskal, dapat meningkatkan
permintaan.
Menghadapi krisis keuangan global,
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan fiscal stimulus dan monetary
policy easing untuk memerangi pelemahan pertumbuhan ekonomi. Kebijakan
fiscal stimulus tersebut meliputi peningkatan expenditure dan tax cuts. Stimulus
fiskalyang bersifat expenditure ditargetkan sebesar Rp 12,2 triliun yang
terdiridari pengeluaran untuk proyek infrastruktur dan non-infrastruktur.
Proyek non-infrastruktur antara lain meliputi pelatihan keterampilan oleh
BalaiLatihan Kerja (BLK), penambahan dana penjaminan bagi Kredit
Usaha Rakyat (KUR), dan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk Asuransi Ekspor
Indonesia (ASEI). Selain itu Pemerintah juga melaksanakan stimulus yang
bersifatpenurunan revenue yaitu dengan cara mengurangi tingkat pajak maupun meningkatkan
subsidi pajak dan non pajak yang ditanggung pemerintah.Stimulus ini bertujuan
untuk menjaga daya beli masyarakat (rumah tangga ) dan insentif bagi dunia
usaha (perusahaan) di tengah melemahnya perekonomian dunia. Untuk tahun
2009, diperkirakan penghematan yang diterima oleh Perusahaan dan Perorangan
melalui penurunan tingkat PPh adalah sebesar Rp 50,3 triliun. Bila dibandingkan
dengan data PenerimaanPPh 2008 yang sebesar Rp 305 triliun, maka diperoleh
angka penurunan(shock) untuk PPh Perusahaan 9,3% dan PPh Perorangan 7,7%.
Selainitu, stimulus fiskal juga dilakukan pemerintah melalui keringanan PPNuntuk
minyak goreng, bahan bakar nabati (BBN) dan kegiatan eksplorasimigas sebesar Rp
3,5 triliun. Dengan nilai penerimaan PPN 2008 sebesarRo 195,5 triliun, maka
stimulus fiskal dari PPN ini adalah sebesar 1,79%.erakhir adalah keringanan Bea Masuk (BM) untuk bahan baku
danbahan modal sebesar Rp 2,5 triliun yang berarti terjadi penurunan sebesar14%
dari tahun 2008 (pendapatan dari Bea Masuk Rp 17,8 triliun).
Secara nominal, stimulus fiskal dari sisi pengurangan pajak adalah sebesar
Rp 60,5triliun yang akan berdampak pada ekonomi melalui mekanisme
shock PPh, PPN dan BM.
Namun
melihat perkembangannya, jumlah stimulus fiskal di atasdiperkirakan tidak dapat
terealisasi seluruhnya untuk tahun 2009. Sampaidengan Oktober 2009, stimulus
fiskal yang telah terealisasi tercatatsebesar Rp 32.9 triliun atau sebesar 44,9%
dari total rencana stimulus fiskal. Sosialisasi yang kurang baik, kehati-hatian
dalam pengeluaran dan penetapan aturan yang lambat ditengarai menjadi penyebab
rendahnya penyerapan stimulus fiskal.Selain stimulus fiskal, Bank Indonesia
sebagai bank sentral juga melakukan pelonggaran moneter secara signifikan
dengan mengurangi policy rate -nya. Bank Indonesia (BI) mulai
menurunkan BI rate sebesar 300bps dari 9.50% pada November 2008 menjadi 6.50%
pada bulan Agustus2009, kemudian mempertahankan rate pada posisi konstan
sebesar 6.50%(Grafik 2). Laju pengurangan belum pernah terjadi sebelumnya,
dengan pemotongan rate sebesar 50 bps setiap bulan dari Januari-Maret 2009 dan
sebesar 25 bps selama April-Agustus 2009. Langkah-langkah tersebut diambil
mengingat prospek inflasi yang rendah dan permintaan agregat yang lemah. Pelonggaran
moneter, ditambah dengan stimulus fiskal, diharapkan bisa menjadi pendorong bagi
kebijakan.
2.
Bila perekonomian dalam kondisi over heated maka kebijakan moneter yang ketat
(tight money policy) merupakan kebijakan yang tepat untuk mendinginkan
perekonomian.
Jawab
: BENAR
Kebijakan moneter uang ketat yang dilakukan Bank Indonesia tahun 2006
membawa dampak penurunan angka inflasi menjadi 6.60 % pada tahun 2006, juga
menurunnya suku bunga di pasar tahun 2007 hingga mencapai 7.33 %. Di pasar
valas pada tahun 2006 mengalami penguatan yang cukup besar hingga mencapai Rp.
9.020,00 per dollar dan tahun yang sama indek harga saham gabungan yang
tercatat di Bursa Efek Indonesia meningkat cukup pesat, pada tahun 2006
mencapai di atas 1.800 dan berlanjut di tahun 2007 mencapai indek 2.746. Sebuah perekonomian yang
kondusif memerlukan stabilitas moneter, jika stabilitas moneter yang tercermin
pada stabilitas inflasi terbangun maka transaksi bisnis dapat direncanakan dan
diperkirakan dengan baik. Bagi
masyarakat, target dan sasaran moneter tersebut dapat menjadi arah mengenai
kondisi perekonomian di masa mendatang sehingga mereka dapat melakukan
perencanaan kegiatan ekonomi dengan lebih baik.
3. Untuk mempercepat pembangunan
ekonomi daerah, mengatasi pengangguran dan mengatasi kemiskinan di Indonesia
saat ini, kebijakan fiskal lebih efektif daripada kebijakan moneter
Jawab
: Benar
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan
ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik
dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Dari sisi pajak
jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi.
Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan
industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Sebaliknya kenaikan pajak akan
menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum.
Dalam literatur klasik, terdapat beberapa perbedaan pandangan mengenai
kebajikan fiskal, terutama menurut teori Keynes dan tiori klasik tradisional
(Nopirin, 2000). Pada prinsipnya Keynes berpendapat bahwa kebijakan fiskal
lebih besar pengaruhnya terhadap output daripada kebijakan moneter. Hal ini
didasarkan atas pendapatnya bahwa, pertama elastisitas permintaan uang terhadap
tingkat bunga kecil sekali (extrim-nya nol) sehingga kurva IS tegak. Kebijakan
fiskal yang ekspansif akan menggeser kurva IS kekanan sehingga output
meningkat. Sedangkan ekspansi moneter dengan penambahan jumlah uang beredar
pada kurva IS yang tetap tidak akan berpengaruh terhadap output. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan fiskal akan lebih efektif dibandingkan dengan
kebijakan moneter.
Pergeseran
dan pergerakan dalam kurva IS, secara umum dapat dilakukan melalui
perubahan–perubahan pada variabel pengeluaran pemerintah (G) dan pajak (T) yang
terkait dengan kebijakan fiskal. Dengan menggunakan perpotongan Keynesian untuk
melihat bagaimana perubahan-perubahan lain dalam kebijakan fiskal menggeser
kurva IS. Karena kenaikan pengeluaran pemerintah atau menurunkan pajak akan
memperbesar pendapatan dan menggeser kurva IS keluar atau kekanan. Menurut
Mankiw (2000), dan Glahe, Fred R. (1977), besarnya perubahan pendapatan (Y)
sebagai akibat perubahan
pengeluaran pemerintah atau penurunan pajak adalah sebesar multipliernya.
Secara grafik maka pergeseran tersebut dapat dilihat sebagai berikut.
Kenaikan
dalam pengeluaran pemerintah (G) menggeser kurva IS dari IS0 ke IS1.
Kenaikan pengeluaran pemerintah meningkatkan pengeluaran yang direncanakan.
Pada tingkat bunga tertentu, pergeseran dalam pengeluaran yang direncanakan
sebesar ΔG menyebabkan kenaikan dalam pendapatan nasional Y sebesar ΔG / (1 –
MPC) sehingga kurva IS bergeser ke IS1 . maka
dapat disimpulkan bahwa disaat pengeluaran pemerintah naik maka pendapatan
agregat akan naik dan menggeser kurva IS kekanan begitu juga sebaliknya disaat
pengeluaran pemerintah turun maka pendapatan agregat juga turun sehingga akan
menggeser kurva IS kekiri.
Dalam melihat efektivitas
kebijakan kita membandingkan pada tiga daerah yaitu daerah klasik, intermediate
range dan daerah keynes. Daerah liquidity trap merupakan daerah yang idenya
pertama sekali dikemukan oleh Keynes. Keynes menganggap ada satu daerah pada
kurva LM yang memiliki tingkat bunga yang sangat rendah dan tidak mungkin turun
lagi. Daerah ini yang disebut daerah liquidity trap. Situ daerah klasik memili
kurva LM yang tegak lurus. Hal ini dikarenakan pemahaman kaum klasik bahwa
teori permintaan uang, permintaan uang tidak dipengaruhi oleh suku bunga.
Menurut paham ini, permintaan uang dipengaruhi oleh pendapatan. Karena tidak
ada hubungannya dengan suku bunga, maka kurva LM bentuknya tegak lurus. Daerah
intermediate range adalah daerah yang menunjukan kurva LM dipengaruhi oleh suku
bunga. Untuk melihat keefektifan ekonomi dapat kita lihat pada gambar berikut :
Gambar
diatas menunjukkan apabila kurva IS bergeser ke kanan berarti kebijakan fiskal
ekspansif. Jika kita perhatikan pada masing-masing daerah, kebijakan fiskal
sangat efektif pada daerah keynesian dan efektif pada daerah intermediate
range. Hal ini terlihat dari besarnya perubahan keseimbangan pendapatan
nasional didaerah keynesian. Sementara itu, kebijakan fiskal sama sekali tidak efektif
pada daerah klasik. Ketika ada kebijakan fiskal, keseimbangan pendapatan
nasional tidak berubah.
Kebijakan
moneter yang ekspansif ditandai dengan bergeser kurva LM dari LM0 Ke LM2.
Apabila dibandingkan pada ketiga daerah maka kebijakan moneter sangat efektif
didaerah klasik dan efektif pada daerah intermediate. Sementara itu,
kebijakan moneter sama sekali tidak efektif pada daerah keynesian.
4. Inflasi dalam perekonomian
indonesia saat ini merupakan fenomena sektor moneter sehingga kebijakan moneter
cukup efektif untuk mengendalikannya.
JAWABAN
: Benar
Kebijakan Moneter adalah suatu usaha dalam mengendalikan keadaan
ekonomi makro agar dapat berjalan sesuai dengan yang diinginkan melalui
pengaturan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Usaha tersebut
dilakukan agar terjadi kestabilan harga dan inflasi serta terjadinya
peningkatan output keseimbangan. Ahli ekonomi klasik mempunyai pendapat bahwa
kebijakan moneter lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan fiskal. Pada
perkembangannya, dengan munculnya kaum monetarist yang pada dasarnya beraliran
klasik, perbedaan pendapat dengan noe-kaynesian tidak lagi berkisar pada
lereng kurva IS dan LM ini. Demikian juga perbedaannnya tidak se extrim diatas.
Kaum monetarist juga mengakui bahwa kebijakan fiskal dapat mempengaruhi
pendapatan nasional, hanya saja kebijakan moneter lebih besar serta dapat di
perkirakan dan lebih cepat efeknya. Kerangka
umum yang sering dipergunakan dalam menganalisis interaksi simultan antara
permintaan dan penawaran baik pada pasar barang dan pasar uang adalah kerangka
IS-LM. Kerangka ini dapat menunjukkan bagaimana kebijakan moneter dan fiskal
mampu mempengaruhi tingkat pendapatan atau output (Mankiw, 2000; Mishkin,
2004). Bagi bank sentral yang merupakan otoritas moneter, kebijakan yang ia
pilih bergantung pada target, kondisi aktual perekonomian, kapasitas kebijakan
dan pertimbangan tentang efektivitas kebijakan tersebut. Kebijakan moneter ini
ditentukan secara terpusat oleh Bank Indonesia. Meskipun dalam formulasi
kebijakannya Bank Indonesia sudah mempertimbangkan aspek regional, namun respon
agen dan dampak pada masing-masing region tersebut sangat mungkin berbeda, dan
ini sangat bergantung pada kondisi empirik masing-masing daerah.
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MONETER DALAM MENGENDALIKAN INFLASI
Dari sudut ekonomi makro maka
kebijakan fiskal dapat dibedakan menjadi dua yaitu Kebijakan Moneter ekspansif
dan kebijakan moneter kontraktif. Kebijakan Moneter Ekspansif adalah suatu
kebijakan dalam rangka menambah jumlah uang yang beredar. pada saat munculnya
kontraksional gap. Berikut grafik kebijakan moneter ekspansif.
Dari
gambar dibawah dapat dilihat kondisi awal penawaran uang (Ms1) dan
tingkat suku bunga adalah kurva (R1). Pada kurva R1 tingkar
suku bunga ). yang peka terhadap pengeluran adalah I=(a+Ip), rencana
pengeluaran agregat menjadi AEp(R1) dan Produk Domestik Bruto
adalah Y1 Selain
itu kurva PDB pada Y1 membantu menetukan posisi kurva permintaan uang pada
kurva L(R, Y1)
dimana besama-sama dengan kurva (Ms1) menentukan tingkat suku bunga
(R1).
Ketika Ms1
meningkat menjadi Ms2 maka tingkat suku bunga turun
karena pendapatan dan pengeluaran naik menjadi menjadi (R1), AEp
(R1)
dan Y1
Kebijakan Moneter Kontraktif adalah suatu kebijakan dalam rangka
mengurangi jumlah uang yang beredar. Disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight
money policy). Kebijakan moneter dapat dilakukan dengan menjalankan
instrumen kebijakan moneter, yaitu antara lain Operasi Pasar Terbuka (Open
Market Operation) Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang
beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah (government
securities). Jika ingin menambah jumlah uang beredar, pemerintah akan
membeli surat berharga pemerintah. Namun, bila ingin jumlah uang yang beredar
berkurang, maka pemerintah akan menjual surat berharga pemerintah kepada
masyarakat. Surat berharga pemerintah antara lain diantaranya adalah SBI atau
singkatan dari Sertifikat Bank Indonesia dan SBPU atau singkatan atas Surat
Berharga Pasar Uang.
-
Fasilitas
Diskonto (Discount Rate) Fasilitas diskonto adalah pengaturan jumlah
uang yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum.
Bank umum terkadang mengalami kekurangan uang sehingga harus meminjam ke bank
sentral. Untuk membuat jumlah uang bertambah, pemerintah menurunkan tingkat
bunga bank sentral, serta sebaliknya menaikkan tingkat bunga demi membuat uang
yang beredar berkurang.
-
Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio) Rasio
cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah
dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk menambah
jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk menurunkan
jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
-
Himbauan Moral (Moral Persuasion) Himbauan moral adalah
kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar dengan jalan memberi
himbauan kepada pelaku ekonomi. Contohnya seperti menghimbau perbankan pemberi
kredit untuk berhati-hati dalam mengeluarkan kredit untuk mengurangi jumlah
uang beredar dan menghimbau agar bank meminjam uang lebih ke bank sentral untuk
memperbanyak jumlah uang beredar pada perekonomian.
6.
Surplus neraca pembayaran adalah baik sedangkan defisit neraca pembayaran
adalah buruk bagi perekonomian
Jawaban
: TIDAK PASTI
Defisit atau surplus merupakan selisih antara
penerimaan dan pengeluaran. Pengeluaran yang melebihi penerimaan disebut deficit.
Neraca perdagangan (balance of trade) adalah sebuah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan perbedaan antara nilai moneter antara ekspor dan
impor. Neraca perdagangan biasa disebut dengan ekspor netto. Neraca perdagangan
yang positif berarti negara tersebut mengalami ekspor yang nilai moneternya
melebihi impor, dan biasa disebut surplus perdagangan. Sementara itu jika
neraca perdagangan menunjukkan kondisi negatif artinya nilai moneter impor
melebihi ekspor, dan disebut sebagai defisit perdagangan.
A. Neraca Defisit
Dua
neraca penting dalam suatu neraca pembayaran adalah neraca perdagangan dan
neraca keseluruhan. Neraca perdagangan menunjukkan perimbangan di antara ekspor
dan impor. Sedangkan neraca keseluruhan menunjukkan perimbangan di antara
keseluruhan aliran pembayaran ke luar negeri dan keseluruhan aliran penerimaan
dari luar negeri. Defisit neraca pembayaran berarti pembayaran ke luar negeri
melebihi penerimaan dari luar negeri. Salah satu faktor penting yang
menimbulkan defisit tersebut.
Defisit
dalam neraca pembayaran menimbulkan beberapa akibat buruk terhadap kegiatan dan
kestabilan ekonomi negara. Defisit sebagai akibat impor yang berlebihan akan
mengakibatkan penurunan dalam negeri dengan barang impor. Harga valuta asing
akan meningkat dan menyebabkan harga-harga barang impor bertambah mahal.
Kegiatan ekonomi dalam negeri yang menurun mengurangi kegairahan
pengusaha-pengusaha untuk melakukan penanaman modal dan membangun kegiatan
usaha baru.
Dengan
demikian, sama halnya dengan masalah pengangguran dan inflasi, masalah defisit
dalam neraca pembayaran dapat menimbulkan efek yang buruk ke atas prestasi
kegiatan ekonomi dalam jangka pendek dan jangka panjang. Oleh karenanya setiap
negara harus berusaha menghindari berlakunya defisit dalam neraca pembayaran.
Neraca Pembayaran defisit, terjadi
apabila jumlah pembayaran lebih besar daripada jumlah penerimaan (transaksi
kredit < transaksi debet). Suatu Negara jika mengalami kelebihan impor dan
kelebihan tersebut ditutup dengan menambah pinjaman akomodatif dan mengurangi
cadangan (stok) nasional maka Negara tersebut sedang mengalami defisit total.
Pembayaran defisit dapat juga dilakukan dengan meminjam dari bank sentral
luar negeri.
Dampak Neraca Pembayaran Defisit Apabila neraca pembayaran suatu Negara mengalami defisit,
maka dampak yang akan terjadi sebagai berikut:
- Produsen
dalam negeri tidak dapat bersaing dengan barang-barang impor.
- Pendapatan
Negara sedikit, sehingga utang Negara bertambah besar.
- Perusahaan
banyak yang gulung tikar, sehingga pengangguran meningkat akibat dari PHK
Ketiga
dampak di atas disebut pengaruh deflatoir yang mendorong/ menjurus ke arah
penurunan harga (deflasi).
Indonesia hanya mengalami surplus perdagangan dengan
China pada 2003 sebesar 535 juta dollar AS, tepatnya 1 tahun sebelum
pelaksanaan Free Trade Area. Dan sejak 2004 hingga Nov 2009, Indonesia
‘konsisten’ mengalami defisit perdagangan dengan China dan mencapai defisit
terbesar pada 2008 yakni USD -7.2 miliar atau setara Rp 70 triliun. Ini berarti
penerapan CAFTA khususnya antara Indonesia-China telah memberi keuntungan yang
sangat besar bagi Republik Rakyat China.
Pada tahun 2008, ekspor China ke Indonesia
meningkat sebesar 652 % dibanding 2003. Sementara pada periode yang
sama, Indonesia hanya mampu meningkatkan ekspor ke China sebesar 265%. Ini
berarti, China mendapat keuntungan hampir 3 kali lipat sejak dibukanya
perdagangan bebas dengan Indonesia. Jumlah rata-rata penjualan produk China
di Indonesia meningkat hingga 400% dalam kurun 5 tahun terakhir. Maka tidaklah
heran bilamana berbagai produk yang kita gunakan/temui sehari-hari bertuliskan
“MADE
IN CHINA“. Mulai dari barang elektronik berteknologi tinggi seperti
ponsel, kamera, mp3/mp4/mp5 player, setrika, televisi, motor,
mesin-mesin, hingga produk-produk berteknologi rendah seperti pakaian
(tekstil), mainan anak-anak, makanan, kertas, jam, pensil, perabot rumah
tangga, paku dll.
Contoh
berikutnya, Secara keseluruhan, Indonesia menunjukkan defisit terhadap kawasan
ASEAN dan Australia Oceania. Defisit dalam jumlah signifikan ditunjukkan
dengan negara Cina, Australia dan Selandia Baru masing-masing 2503, 171 dan 207
juta dolar. Secara umum komoditi ekspor masih didominasi oleh komoditi
primer atau manufactured product.
B. Neraca Surplus
Neraca
pembayaran surplus, adalah apabila jumlah penerimaan lebih besar
daripada jumlah pembayaran/ utang (transaksi kredit> transaksi debet). Jika BOP
surplus, bank sentral dapat membayar utang luar negerinya atau memperoleh
aset cadangan tambahan dari luar negeri.
perdagangan Indonesia belum menunjukkan nilai yang signifikan dan cenderung
fluktuatif. Namun secara umum Indonesia hampir selalu mengalami surplus neraca
perdagangan.
Jika kita lihat secara keseluruhan, dari beberapa
sektor menunjukkan hasil surplus. Sektor perdagangan yang meliputi ekspor
merupakan penyumbang surplus terbesar di neraca ini. Dari sektor penyediaan
jasa masih mengalami defisit. Hal ini disebabkan kita masih memprioritaskan
ekspor migas sebagai sumber pendapatan utama negara. Sedangkan sektor
pariwisata memiliki potensi yang sangat baik untuk meningkatkan peluang surplus
neraca pembayaran Indonesia. Untuk itu harus ditingkatkan kegiatan-kegiatan
pariwisata beserta sarana dan prasarana pendukung, untuk menjadikan sektor
pariwisata sebagai penyumbang surplus utama bagi neraca pembayaran Indonesia.
Perkembangan ekspor dan impor (termasuk data
triwulanan) senantiasa menunjukkan surplus. Pada tahun 2009 data neraca
transaksi berjalan (current account) menghasilkan surplus 10.7 miliar
dolar. Hingga tahun triwulan ke dua tahun 2010, jumlah cadangan devisa
nasional mencapai 76.3 miliar dolar. Kondisi optimis tersebut juga
terlihat dari neraca modal (capital account), dimana sudah recovery
sesudah mengalami krisis pada tahun 2008, ditunjukkan dengan angka negatif
sejak triwulan ke empat 2008 hingga triwulan ke dua tahun 2009. Meskipun
demikian, fenomena krisis tersebut masih mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi
yang positif,
7.
Apresiasi rupiah adalah baik sedangkan depresiasi rupiah adalah buruk bagi
perekonomian
Jawab : Tidak Pasti
Nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS akhir-akhir ini terus mengalami penguatan atau
apresiasi. Jika pada awal krisis keuangan global – yang dipicu oleh krisis
keuangan global – sempat mencapai Rp 12.000 per dolar AS maka kini rupiah terus
menguat mendekati Rp 9.000,-. Ketika artikel ini ditulis ( 12/10 2009) kurs
rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 9. 421 per dolar AS. Ada yang meramalkan nilai
tukar rupiah per dolar AS tersebut bahkan bisa mencapai Rp. 8.500,- per dolar
AS. Ada beberapa penyebab apresiasi rupiah terhadap dolar AS tersebut. Pertama,
terus mengalirnya valuta asing ke Indonesia akibat sentimen positif tentang
Indonesia. Ada minimal dua sentimen positif. Sentimen positif pertama adalah
dinaikkannya peringkat kemampuan membayar kredit dan berinvestasi di Indonesia
oleh Moody’s Investor’s Service dari Ba3 menjadi Ba2. Peringkat ini merupakan
yang tertinggi setelah krisis tahun 1998. Moody’s melihat bahwa resiko
memberikan kredit dan berinvestasi di Indonesia menurun karena beberapa hal
antara lain: tetap poistifnya pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika semua negara
(kecuali juga RRC dan India) mengalami pertumbuhan ekonomi negatif sebagai
dampak dari krisis keuangan global yang lalu. Sentimen positif kedua adalah
direvisinya pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2009 oleh Bank Dunia dari
semula 3,5 persen menjadi 4,3 persen.
Kedua, sebab
datang dari AS sendiri. Salah satunya adalah kebijakan defisit APBN yang
dilakukan oleh Presiden Barrack Obama yang meneruskan kebijakan Presiden Bush.
Yang menjadi persoalan adalah defisit tersebut ditutup dengan pencetakan uang
baru yang menyebabkan tingkat inflasi di AS meningkat. Bertambahnya jumlah dolar
AS - sementara banyak mata uang negara-negara lain jumlahnya konstan – telah
menyebabkan penurunan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang termasuk
rupiah.
Ketiga, sejak
krisis finansial di AS tahun 2008 dan 2009 yang sampai sekarang belum pulih
benar telah menyebabkan para pencari rente atau spekulan dalam valuta asing
memindahkan investasinya dari dolar AS ke mata uang lain misalnya ke Euro.
Akibatnya banyak dolar AS yang dijual ke pasaran sehingga nilai tukar dolar AS
terhadap mata uang lain mengalami penurunan atau terdepresiasi atau nilai tukar
mata uang lain terhadap dolar AS mengalami kenaikan atau terapresiasi.
Keempat, adanya
tambahan pasokan Special Drawing Right (SDR) dari IMF sebesar SDR 1,74 atau
setara dengan 2,7 milyar dolar AS. Sebagaimana diketahui Special Drawing Rights
(SDR) adalah semacam surat berharga yang dikeluarkan oleh IMF untuk membantu
negara-negara yang membutuhkan pasokan valuta asing karena berbagai sebab misal
karena defisit neraca pembayaran internasionalnya SDR ini bisa diperlakukan
sebagai cadangan valuta asing atau devisa. Akibat tambahan SDR dari IMF ini
maka cadangan devisa Indonesia telah bertambah menjadi 62,3 milyar dolar AS.
Pertambahan devisa bisa diartikan sebagai tambahan pasokan dolar AS. Jika rupiah
yang beredar jumlahnya tetap maka jika dolar AS bertambah jumlahnya akan
mengakibatkan nilai tukar dolar AS terhadap rupiah turun (terdepresiasi) atau
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS naik atau terapresiasi. Pertanyaannya
kemudian adalah apakah kecenderungan apresiasi rupiah terhadap dolar AS ini
kabar baik ataukah kabar buruk bagi perekonomian Indonesia? Jawaban singkatnya
adalah ada kabar baiknya tetapi juga ada Kabar baiknya. Kabar baiknya dari
terapresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ada beberapa. Pertama,
beban pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri baik milik pemerintah
maupun swasta (perusahaan) akan berkurang. Kedua, menguatnya nilai tukara
rupiah terhadap dolar AS juga akan membuat Indonesia lebih percaya diri untuk
membuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang tidak tergantung pada komando AS dan
lembaga-lembaga yang selama ini menjadi bonekanya. Kuatnya pengaruh nilai tukar
terhadap keputusan-keputusan suatu negara untuk “melawan” dominasi AS tampak
pada kasus perang As melawan Irak. Karena nilai tukar Euro terhadap dolar AS
lebih kuat maka banyak negara-negara Eropa termasuk Inggeris yang menentang
agresi AS ke Irak waktu itu. Padahal sebelumnya negara-negara Eropa selalu
mendukung apapun kebijakan AS. Ketiga, perusahaan-perusahaan yang selama ini
memakai bahan baku dan mesin yang diimpor akan diuntungkan karena harga barang
impor menjadi lebih murah jika terjadi apresiasi nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS. Dengan harga bahan baku yang lebih murah maka marjin keuntungannya akan
lebih tinggi (jika ia tidak menurunkan harga) atau jika ia menurunkan harga
maka ia akan bisa meningkatkan volume penjualannya sehingga pangsa pasarnya
akan membesar. Membesarnya pangsa pasar akan memberikan berbagai keuntungan
misalnya membentengi perusahaan baru yang akan masuk dan semakin luasnya
pengenalan masyarakat akan produk yang dijual. Keempat, menguatnya nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS juga akan memberikan semacam “surplus” dalam APBN 2009
karena asumsi nilai tukar yang lebih rendah dari yang sekarang terjadi.
Sebagaimana diketahui asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dalam APBN
Perubahan (APBN-P) tahun 2009 adalah Rp 10.600,- per dolar AS. Dengan realisasi
nilai tukar yang lebih tinggi maka akan ada tambahan pemasukan dari pajak ekspor
baiki migas maupun non-migas dan penerimaan bukan pajak berupa penerimaan
ekspor migas maupun non-migas. Sementara itu, di sisi pengeluaran akan bisa
dihemat subsidi BBM dan pembayaran cicilan serta bunga utang luar negeri.
Namun berita Buruknya, menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
mempunyai sis buruk atau membawa berita buruk. Pertama, bagi produsen atau
pengusaha yang orientasi pasarnya adalah ekspor. Dengan apresiasi nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS maka harga produk Indonesia menjadi lebih mahal
dipandang dari sisi mata uang asing (dolar AS). Maka hal tersebut akan
mengurangi ekspor. Kedua, seperti disebutkab di depan, apresiasi nilai tukar
rupiah terhadap dolar AS akan membuat harga barang-barang impor menjadi lebih
murah. Hal tersebut akan menguntungkan bagi pengusaha yang bahan baku dan
peralatan mesinnya diimpor. Akan tetapi impor Indonesia tidak hanya bahan baku
dan mesin tetapi juga barang-barang jadi. Akibatnya juga harga barang-barang
jadi (barang konsumsi) impor turun. Ini akan merupakan pukulan bagi
produsen-produsen dalam negeri. Jika produsen dalam negeri mengalami kesulitan
dan sampai mengalami penyusutan omset dan produksi maka dampak berikutnya
adalah pengusaha akan mengurangi jumlah tenaga kerja yang dipekerjakannya. Maka
upaya penanggulangan kemiskinan akan menghadapi pukulan berat pula.
Lebih mendasar lagi, selain menimbang baik dan buruknya BI dan pemerintah perlu
membenahi masalah-masalah yang sifatnya lebih mendasar. Pertama, bukan
apresiasi atau depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang penting
tetapi berapa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang wajar dan nyaman
(favourable) bagi semua pihak. Ada yang menyatakan bahwa nilai tukar rupiah
terhadap dolar AS yang wajar dan nyaman bagi semua pihak itu berkisar antara Rp
9.000 sampai Rp 9.500,-. Jika penguatan rupiah sampai di bawah Rp 9.000,- maka
rupiah sudah dinilai terlalu tinggi (overvalued). Kedua, fokus dan energi dari
BI dan pemerintah hendaknya tidak dihabiskan pada menjaga stabilitas nilai
tukar rupiah terhadap dolar dan mencari nilai tukar Rp/dolar AS yang wajar
tetapi juga bagaimana mendorong sektor riil yang langsung bersinggungan dengan
masyarakat banyak. Beberapa pkerjaan rumah untuk membenahi sektor riil tersebut
adalah pembenahan infrastruktur, penciptaan iklim usaha yang lebih sehat antara
lain dengan pemberantasan suap dan korupsi, dan menciptakan regulasi yang
nyaman bagi dunia usaha
Ketiga, masalah penanggulangan kemiskinan juga harus menjadi fokus utama dan
ditangani secara mendasar. Selama ini kemiskinan hanya ditanggulangi secara ad
hoc dengan BLT. Itupun dilakukan menjelang pemilu. Meskipun “politik uang”
tersebut sangat manjur untuk memenangi pemilu dan tampaknya akan menjadi tren
bagi partai penguasa maupun oposisi, tetapi itu bukanlah cara yang benar untuk
memerangi kemiskinan. Dibutuhkan langkah lebih fundamental, misalnya dengan
pendirian lembaga penjaminan kredit bagi UMKM.
8. inflasi yang disebabkan oleh Cost push dapat
dikendalikan dengan kebijakan moneter.
Jawaban : Benar
Cost Push Inflation adalah Inflasi
yang timbul karena kenaikan ongkos produksi secara terus menerus. Untuk lebih
lanjutnya perhatikan penjelasan inflasi tersebut dengan kurva di bawah ini:
|
Penjelasan:
Pergeseran kurva D1-D2 disebabkan adanya penambahan permintaan Q1- Q2 yang
berakibat naiknya harga (P1-P2) jika permintaan bertambah terus (Q2-Q3)
menyebabkan harga akan terus naik (P2-P3), begitu seterusnya. Hal ini akan
menyebabkan kenaikan harga terus-menerus yang menyebabkan terjadinya inflasi.
|
Tidak dapat
dipungkiri bahwa kebijakan moneter telah banyak mencapai tujuan-tujuan ekonomi.
Friedman berpendapat bahwa kebijakan moneter dapat memberikan kontribusi dalam
mencapai stabilitas ekonomi dengan mengendalikan besaran-besaran moneter dalam
perekonomian (Catur Sugiyanto, 1995). Permintaan uang yang dapat dipresentasikan
sebesar jumlah uang beredar, dengan asumsi perekonomian terjadi keseimbangan
mengalami perkembangan sesuai dengan berkembangnya kebijakan-kebijakan
pemerintah yang memungkinkan berkembangnya jenis tabungan maupun jenis kredit.
Keinginan masyarakat untuk menabung dan keinginan mendapatkan kredit dari
perbankan sangat dipengaruhi oleh kemudahan dan berbagai fasilitas yang
ditawarkan dikalangan perbankan. Hal ini dimungkinkan bila pemerintah juga
turut campur tangan dalam berbagai kebijakan deregulasi maupun regulasi bidang
moneter khususnya dan ekonomi pada umumnya. Sejak deregulasi dalam
bidang keuangan, moneter dan perbankan di Indonesia yang dimulai juni 1983
kebijakan Paket Juni dan kemudian dilanjutkan dengan kebijakan Paket Oktotober
1988 memberi dampak pertumbuhan bank-bank baru dan kantor-kantor cabang
melonjak tajam. Kemudahan dalam perluasan jaringan dan pendirian bank baru mengakibatkan
jumlah bank yang beroperasi semakin banyak, sehingga persaingan semakin ketat.
Krisis moneter tahun 1998 yang terjadi
di Indonesia sebagai akibat melemahnya nilai tukar rupiah dan merosotnya
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, menyebabkan sektor perbankan
mengalami krisis likuiditas dan memicu krisis perbankan. Kondisi ini diperburuk
dengan terjadinya penarikan besar-besaran dana nasabah dari perbankan. Krisis
perbankan melemahkan sektor produksi dan memicu kenaikan harga barang-barang
dan jasa-jasa di masyarakat. Tingginya kenaikan harga yang mencapai 77 %
menyebabkan kebutuhan rupiah yang lebih besar untuk melakukan transaksi
sehingga mendorong masyarakat untuk memilih alat pembayaran yang lebih likuid.
Perkembangan
uang beredar sejak deregulasi hingga sekarang menunjukan peningkatan yang cukup
besar. Pada tahun-tahun terakhir perkembangan uang beredar meningkat pesat
dengan angka pertumbuhan uang sempit (M1) rata-rata sebesar 16,62 %, uang luas
(M2) sebesar 15,64 % dan uang kuasi sebesar 15,48 %. Pertumbuhan terbesar untuk
uang sempit terjadi tahun 2007 sebesar 29,69 %, untuk uang luas sebesar 18,89
%. terjadi pada tahun 2007. Peningkatan uang beredar ini menunjukkan terjadinya
peningkatan transaksi ekonomi pada sektor produksi barang dan jasa dengan
pertumbuhan di atas 6 % yang disebabkan terjadinya peningkatan konsumsi swasta
dan ekspor ke luar negeri.
Tabel 1.1
Perkembangan Jumlah
Uang Beredar Di Indonesia
Tahun 2004 – 2010
(Miliar Rupiah)
Tahun
|
Uang Beredar Sempit
|
Growth
(%)
|
Uang Beredar Luas
|
Growth
(%)
|
Uang Kuasi
|
Growth
(%)
|
2004
|
245,946
|
|
1,033,527
|
|
787,581
|
|
2005
|
271,140
|
10.24
|
1,203,215
|
16.42
|
932,075
|
18.35
|
2006
|
347,013
|
27.98
|
1,382,074
|
14.87
|
1,035,061
|
11.05
|
2007
|
450,056
|
29.69
|
1,643,203
|
18.89
|
1,193,147
|
15.27
|
2008
|
456,787
|
1.50
|
1,883,851
|
14.65
|
1,427,064
|
19.61
|
2009
|
515,824
|
12.92
|
2,141,384
|
13.67
|
1,625,560
|
13.91
|
2010*
|
605,378
|
17.36
|
2,469,399
|
15.32
|
1,864,021
|
14.67
|
*)
angka sementara
Sumber
: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Bank Indonesia
Pada tahun 2006
jumlah uang beredar (M1) meningkat sebesar 27,96 % dan tahun 2007 sebesar 29,69
% tersebut didorong oleh peningkatan uang giral yang tumbuh di atas 30 % dan
uang kartal tumbuh di atas 20 %. Peningkatan jumlah uang beredar ini disebabkan
oleh membaiknya country risk dan
tingginya interest rate differential
Indonesia dengan dengan negara-negara lain di Asia menyebabkan arus modal
masuk, sehingga transaksi ekonomi membaik dengan pertumbuhan ekonomi di atas 6
%. Namun untuk tahun 2008 jumlah uang beredar mengalami pertumbuhan yang kecil
sebesar 1,50 % disebabkan oleh krisis global, bahkan masih dirasakan pada tahun
2009 dengan pertumbuhan uang beredar sebesar 12,92 %. Kondisi ini mempengaruhi
sektor riil dengan angka pertumbuhan ekonomi tahun 2009 menurun menjadi di
bawah 4 %.
9.
Hemat Pangkal Kaya
Jawaban:
Tidak Pasti
hemat
pangkal kaya dalam ekonomi makro masih harus ditinjau ulang. Karena mengurangi
jumlah uang beredar. Ketika masyarakat mulai berhemat, maka mereka mengurangi
budget mereka untuk konsumsi. Karena mereka mengurangi konsumsi, mislanya
biasanya sehari dia bisa membeli 2 mangkok bakso tapi karena berhemat maka
untuk mengurangi konsumsi mereka hanya membeli 1 mangkok bakso. Pedagang bakso
yang tiap hari bisa menghabiskan 3 kg daging karena turunnya jumlah pembelian
bakso, maka ia mengurangi pembelian daging ke penjual daging. Begitu juga
dengan penjual daging akan mengurangi pembelian daging ke supplier atau
peternaknya. Jika seperti ini siapa yang rugi? Kalau dilakukan secara individu
memang hemat bikin kayak arena duitnya kita tabung. Tapi kalau secara agregat
hemat dilakukan sebagian besar masyarakat maka akan banyak pihak yang
dirugikan. Konsumsi masyarakat akan menurun, output juga turun sehingga
produsen akan memangkas jumlah pegawainya.
Akhirnya menyebabkan pengangguran. Jika disisi perusahaan, hemat kita
definisikan sebagai menahan modal maka pada kondisi inflasi dan kenaikan
tingkat suku bunga itu sangat merugikan. Salah satu alasan Indonesia lolos dari
krisis ekonomi adalah orang-orang masih bisa belanja. Jadi, kalau dulu orang
bilang hemat pangkal kaya, sekarang belanja pangkal kayak arena akan mendorong
ekonomi. Itu adalah teori yang sudah lama sekali dikenal dengan sebutan “
paradox of thrift”. Ini adalah teori yang dikembangkan oleh Keynes yang
mengatakan bahwa “sikap hemat itu baik. Namun, bila sikap hemat diterapkan di
skala nasional akan membawa bencana apabila diterapkan pada waktu depresiasi. Ini
yang diajakarkan Keynes ketika terjadi depresi pada tahun 1930-an. Keynes
beragumentasi ketika ekonomi mengalami
depresi, pemerintah harus melakukan stimulus dengan melakukan belanja sebagai
motor ketika ekonomi sedang lesu. Namun, situasi sekarang dengan jaman Keynes
berbeda. Pada masa Keynes, hubungan antara value chain dan perdagangan masih
belum mengglobal seperti sekarang. Berdasarkan logika, argument “keep buying,
keep spending memang menyebutkan bila masyarakat tetap membeli barang, maka
demand produk akan meningkat. Artinya, permintaan barang dan pabrik bertambah
sehingga membuka peluang kerja sehingga menciptakan virtuos cycle. Sayangnya
ini hanya terlihat di level makro. Kenyataanya, permintaan dalam skala besar
terhadap produk consumer kita seperti mobil, motor, dan ponsel tidak
menciptakan virtuos cycle tersebut. Itu terjadi karena struktur industry
berbeda. Dari hasil riset yang telah dilakukan menunjukkan bahwa yang lebih
banyak mendapatkan manfaat dari kenaikan permintaan adalah perusahaan asing
dari pada lokal. Contohnya, untuk kasus Telkom dan astra internasional. Disini
terlihat bahwa rantai supply chain juga dikuasai perusahaan-perusahaan asing.
Artinya jika Telkom melakukian spending, orang juga akan membeli ponsel, maka
yang menikmati bukanlah pihak domestik. Itu bisa dilihat berapa banyak uang
yang bertahan di domestic. Jika struktur industry komunikasi kita lebih banyak
didalam negeri dan padat karya. Persoalannya tidak demikian.
Dalam
supply chain Telkom per agustus 2013 terlihat bahwa Telkom memiliki 10 pemasok.
Lima diantaranya merupakan mitra lokal seperti tower bersama, solusi tunas
pratama, sarana menara nusantara, sarana menara nusantara, kimia farma dan inti
bangun sejahtera. Lima lainnya adalah perusahaan asing. Demikian halnya dengan kasus astra. Semakin
banyak orang belanja motor maupun mobil, maka semakin besar subsidi bahan bakar
minyak. Artinya, deficit anggaran Negara semakin besar sehingga tidak
sustainable.
Bila
dilihat dari supply chain astra internasional per agustus 2013, situasinya
lebih buruk. Data menunjukkan bahwa astra memiliki 18 suppliers. Delapan mitra
merupakan perusahaan lokal. Sedangkan 10 mitra lainnya merupakan perusahan
amerika serikat, jepang dan jerman. Jadi hemat pangkal kaya dalam makro adalah
“TIDAK PASTI” semua tergantung dari bagaimana struktur industry kita.
10. Masyarakat Perkotaan dan desa, sama-sama responsive terhadap perubahan
suku bunga oleh karena itu kebijakan sentralisasi moneter yang dilakukan
pemerintah saat ini, sudah tepat untuk mendukung, desentralisai ekonomi.
Jawban : Salah
Dalam kaitannya dengan sistem
pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan
dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang
menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia
Desentralisasi di bidang pemerintahan adalah
pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada satuan organisasi pemerintahan
di wilayah untuk meyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari sekelompok
penduduk yang mendiami wilayah tersebut.
Dengan demikian, prakarsa, wewenang,dan tanggung
jawab mengenai urusan yang diserahkan pusat menjadi tanggung jawab daerah ,
baik mengenai politik pelaksanaannya, perencanaan, dan pelaksanaannya maupun
mengenai segi pembiayaannya. Perangkat pelaksananya adalah perangkat daerah itu
sendiri.
Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai
pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia
dll) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, desentralisasi adalah penyerahan urusan
pemerintah dari pusat kepada daerah. Pelimpahan wewenang kepada Pemerintahan
Daerah, semata- mata untuk mencapai suatu pemerintahan yang efisien.
Tujuan dari desentralisasi adalah :
·
mencegah pemusatan keuangan.
·
sebagai usaha pendemokrasian Pemerintah Daerah
untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan
pemerintahan.
·
Penyusunan program-program untuk perbaikan
sosial ekonomi pada tingkat local sehingga dapat lebih realistis.
Desentralisasi dapat dilakukan melalui empat
bentuk kegiatan utama, yaitu:
• Dekonsentrasi wewenang administrative
Dekonsentrasi berupa pergeseran volume pekerjaan
dari departemen pusat kepada perwakilannya yang ada di daerah tanpa adanya
penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau
keleluasaan untuk membuat keputusan.
• Delegasi kepada penguasa otorita
Delegasi adalah pelimpahan pengambilan keputusan
dan kewewenangan manajerial untuk melakukan tugas –tugas khusus kepada suatu
organisasi yang secara langsung berada di bawah pengawasan pusat.
• Devolusi kepada pemerintah daerah
Devolusi adalah kondisi dimana pemerintah pusat
membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah pusat dengan menyerahkan
sebagian fungsi-fungsi tertentu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara
mandiri. Devolusi adalah bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif untuk
merujuk pada situasi di mana pemerintah pusat mentransfer kewenangan kepada
pemerintah daerah dalam hal pengambilan keputusan , keuangan dan manajemen.
• Pemindahan fungsi dari pemerintah kepada swasta
Yang di sebut sebagai pemindahan fungsi dari
pemerintahan kepada swasta atau privatisasi adalah menyerahkan beberapa
otoritas dalam perencanaan dan tanggung jawab admistrasi tertentu kepada
organisasi swasta.
Pembangunan ekonomi daerah dalam
kerangka pembangunan ekonomi nasional berarti menjadikan perekonomian daerah sebagai
tulang punggung perekonomian nasional. Sebagai agregasi dari ekonomi daerah,
perekonomian nasional yag tangguh hanya mungkin diwujudkan melalui perekonomian
daerah yang kokoh. Rapuhnya perekonomian nasional selama ini di satu sisi dan
parahnya disparitas ekonomi antar daerah dan golongan di sisi lain mencerminkan
bahwa perekonomian Indonesia di masa lalu tidak berakar kuat pada ekonomi
daerah.
Dalam kerangka pembangunan ekonomi
daerah, desentralisasi ekonomi bukan sekedar pembagian keuangan antara pemerintah
pusat dan daerah, tetapi paling tidak harus diterjemahkan dalam tiga aspek
perubahan penting. Pertama, “pendaerahan” pengelolaan pembangunan
ekonomi (perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, dan evaluasi) yang sebelumnya
lebih didominasi pemerintah pusat dialihkan kewenangannya kepada pemerintah
daerah. Pemerintah pusat tidak perlu lagi terlampau banyak intervensi secara
langsung dalam pembangunan ekonomi daerah, tetapi perlu diberikan keleluasaan
kepada pemerintah daerah untuk berkreasi dan mengambil inisiatif dalam
pembangunan ekonomi di daerahnya masing-masing. Kedua, swastanisasi
pelaksanaan pembangunan ekonomi. Di masa lalu, dengan kebijakan pembangunan
yang sentralis atau top down, pemerintah cenderung terlalu banyak
menangani dan mengatur kegiatan-kegiatan ekonomi yang sebenarnya dapat
ditangani secara lebih efisien oleh swasta atau rakyat, baik secara individu
maupun melalui badan usaha. Peran pemerintah yang terlalu dominan dalam
pembangunan ekonomi selain memboroskan penggunaan anggaran negara, juga telah
banyak mematikan kreativitas ekonomi rakyat dan kelembagaan lokal. Di masa yang
akan datang, jika desentralisasi ekonomi benar-benar akan diwujudkan, maka
rasionalisasi pelaksanaan pembangunan ekonomi harus benar-benar dilakukan.
Paradigma lama yang menganggap pembangunan adalah seolah-olah adalah “karya
agung” pemerintah harus diubah menjadi pembangunan merupakan kreativitas
rakyat. Kegiatan ekonomi yang dapat dilaksanakan oleh rakyat atau swasta harus
diserahkan kepada rakyat atau swasta. Ketiga, organisasi dan kelembagaan
pembangunan ekonomi juga harus mengalami perubahan. Di masa lalu, untuk
“memberhasilkan” kebijakan pembangunan yang top down, pemerintah sering
membentuk organisasi dan kelembagaan baru (yang oleh pemerintah dianggap
modern) dan “meminggirkan” organisasi dan kelembagaan lokal. Contohnya,
kelembagaan lumbung keluarga dan desa yang telah teruji kemampuannya sebagai
kelembagaan ketahanan pangan lokal digantikan oleh BULOG/DOLOG/SUB DOLOG,
kelembagaan sistem bagi hasil digantikan oleh sistem kelembagaan PIR, bapak
angkat atau kemitraan, kelembagaan tata ekosistem desa diganti dengan RT-RW,
kelembagaan tanah lokal disingkirkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria, dan lain
sebagainya.
Penyingkiran organisasi dan
kelembagaan lokal telah menyebabkan rakyat kehilangan kemandirian dalam
memecahkan permasalahannya sendiri. Dimasa yang akan datang untuk mengembangkan
ekonomi daerah, maka seyogyanya organisasi dan kelembagaan lokal harus
dibangkitkan kembali dan dimodernisasi (bukan digantikan) menjadi organisasi
dan kelembagaan pembangunan daerah. Ketiga aspek tersebut sejalan dengan
pemikiran dalam konsep otonomi daerah dengan kebijaksanaan pembangunan yang
bersifat bottom-up.
Dengan ketiga perubahan tersebut
diharapkan perekonomian daerah akan digerakkan oleh kreativitas rakyat beserta
kelembagaan lokal sedemikain rupa, sehingga potensi ekonomi yang terdapat di
setiap daerah dapat dimanfaatkan demi kemajuan ekonomi daerah yang
bersangkutan. Agar pembangunan ekonomi daerah dapat benar-benar dinikmati oleh
rakyat, maka sektor-sektor ekonomi yang dikembangkan di setiap daerah haruslah
sektor ekonomi yang dapat mendayagunakan sumber daya yang terdapat atau
dikuasai oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.
11. untuk mengelola pereknomian Indonesia,
moneter leader – fiscal follower lebih efektif dari pada fiscal leader –
moneter leader.
Jawaban : Tidak Pasti
Perlunya
otoritas fiskal dan moneter merintis sebuah contingency plan (rencana
cadangan) untuk menjamin benefit perekonomian yang sudah diraih tidak serta
merta hilang ketika terjadi tekanan terhadap perekonomian. Tujuan utamanya
menjamin benefit perekonomian yang sudah diraih tidak serta merta hilang
seperti pengalaman krisis 1997-1998 lalu, contingency plan harus berisi
penjabaran detil langkah-langkah pelaksanaan kebijakan masing-masing otoritas
di saat genting. Apabila mengacu kepada salah satu bentuk koordinasi kebijakan
moneter dan fiskal dalam konteks leader-follower, maka hal utama yang
menjadi perhatian adalah bentuk dan sumber permasalahan yang hendak dipecahkan.
Model koordinasi pemimpin-pengikut (leader-follower model), yang artinya koordinasi harus mengacu kepada urutan (sequence) tindakan kebijakan, di mana salah satu otoritas harus melahirkan kebijakan terlebih dulu berdasarkan tantangan lingkungan eksternal, baru direspons oleh otoritas kebijakan lainnya. Ketika terjadi lonjakan harga minyak, misalnya, otoritas fiskal perlu mengubah kebijakan pengeluaran pemerintah dengan segera, sedang otoritas moneter perlu menjadi pengikut dengan melakukan kebijakan moneter yang seharusnya tidak mengganggu stabilitas makro ekonomi.
Sebaliknya, di tengah gejolak kurs, otoritas moneter perlu menjadi pemimpin dengan membuat berbagai upaya dalam melakukan intervensi langsung di pasar valas dan obligasi; sedangkan otoritas fiskal menjadi pengikut, dengan mempersiapkan jaring pengaman (safety net) dan mengurangi dampak lanjutan dari risiko sistemik di sektor finansial.
Suatu ketika, shock
ekonomi akibat kenaikan harga minyak, menuntut otoritas fiskal mengubah
kebijakan pengeluaran pemerintah dengan segera. Pada saat seperti itu, otoritas
moneter menjadi follower dengan melakukan kebijakan moneter yang tidak
bersifat mengganggu stabilitas makro ekonomi. Pada saat lain ketika shock
ekonomi datang dalam bentuk tekanan pada sektor eksternal dan misalnya nilai
tukar menjadi tertekan, maka otoritas moneter harus segera melahirkan kebijakan
moneter sebagai respon stabilisasi perekonomian, dan otoritas fiskal pun
menjadi follower dengan menetapkan kebijakan fiskal yang mendukung
pemulihan stabilitas makro ekonomi. Namun perlu diingat bahwa jika shock
yang terjadi dipandang terlalu kecil, maka tidak perlu ada mekanisme leader-follower
itu. Sehingga dalam kerangka contingency plan yang hendak disusun,
terdapat pula ukuran atau level dari shocks.
Hal ini penting
untuk menjadi dasar pembentukan contingency plan sebab bila ukuran atau
level dari shock tersebut terlewati maka apabila tidak ada protokol yang
mengatur respon optimal kebijakan, dan koordinasi tidak direncanakan dalam satu
rangkaian perencanaan, maka respon dari sebuah otoritas akan menjadi terlalu
besar dari porsi yang seharusnya. Akibatnya, otoritas yang lain terpaksa harus
merespon dengan kebijakan yang tidak optimal.
contingency plan juga harus
dilengkapi dengan langkah kebijakan yang bersifat preventif dan kuratif untuk
menangkal dampak negatif dari arus modal keluar dalam skala besar yang dapat
terjadi secara tiba-tiba akibat integrasi ekonomi global.
Paduan kebijakan
yang bersifat preventif dapat berupa koordinasi moneter dan fiskal untuk terus
mempertahankan kestabilan makro ekonomi secara konsisten, penciptaan atmosfir
yang baik bagi penanaman modal asing, serta pengembangan infrastruktur.
Kebijakan yang bersifat kuratif sangat berkaitan dengan upaya stabilisasi
ekonomi jangka sangat pendek, di mana shock dalam perekonomian Indonesia
bermanifestasi menjadi keadaan yang genting.
Cirinya sudah dikenal yaitu larinya modal asing dalam jumlah besar secara
tiba-tiba, serta melemahnya nilai tukar rupiah secara mendalam, melonjaknya
inflasi, serta runtuhnya ekspektasi rasional para pelaku ekonomi domestik dan
asing.
ika sudah
terjadi kondisi demikian maka perekonomian Indonesia sudah masuk fase genting
dalam kategori krisis ekonomi yang dampak negatifnya dirasakan oleh seluruh
sektor dalam perekonomian. Otoritas moneter dan fiskal harus bahu-membahu
dengan cerdik di saat genting itu.
12. Untuk
memanfaatkan kerjasama ekonomi kawasan seperti Asean, afta, apec dan cafta
kebijakan kurs/nilai tukar yang cenderung melemah lebih baik daripada kebijakan
nilai tukar yang dipaksakan menguat. Benar, salah/tidak pasti !
Jawaban: Benar
Dilihat dari sistem
penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), Indonesia masih mengandalkan bantuan dan
pinjaman dari luar negeri sebagai upaya menambah penerimaan negara
untuk membiayai pembangunan.
Implikasi dari adanya keterbukaan
tersebut, maka perkembangan perekonomian Indonesia sangat dipengaruhi oleh
perkembangan perekonomian internasional. Hal ini tercermin dari pola
perdagangan Indonesia yang mengalami fluktuasi sebagai akibat
perkembangan nilai ekspor dan impor yang mengalami
fluktuasi.
Ditinjau dari komposisi nilai ekspor
Indonesia terlihat bahwa pada awal pembangunan di Idonesia
dominasi minyak bumi dan gas alam masih cukup besar. Namun
perkembangan selanjutnya nampak peranan ekspor migas semakin
menurun, bahkan sejak tahun 1987 terlihat terjadi pergeseran komposisi
ekspor dari migas ke non migas. Keadaan ini sejalan dengan kebijakan pemerintah
untuk mendorong ekspor non migas guna menggantikan posisi migas sebagai
penyumbang utama devisa negara. Walaupun posisi ekspor non migas
telah berhasil menggeser posisi ekspor migas, namun
bila ditinjau dari keadaan transaksi berjalan dalam neraca pembayaran
yang terus menerus mengalami defisit akibat pengeluaran jasa yang
semakin besar, menunjukkan bahwa penerimaan ekspor terutama non migas
belum mampu untuk menutupi kebutuhan impor dan pembayaran jasa-jasa
seperti pada masa kejayaan harga minyak bumi.
Kondisi transaksi berjalan dalam neraca
pembayaran yang mengalami defisit terus menerus,
dan menyadari harga minyak bumi yang kian tidak
menentu, maka upaya untuk meningkatkan penerimaan ekspor non
migas mutlak diperlukan. Salah satu upaya untuk mendorong
peningkatan ekspor adalah dengan mempengaruhi nilai tukar mata uang (Branson,
W, 1978).
Atas dasar inilah pemerintah Indonesia
sejak tahun 1986 (devaluasi terakhir) mengambil kebijakan
untuk mengambangkan nilai mata uang rupiah. Jika pada periode sebelumnya
kurs rupiah masih menggunakan mata uang dolar Amerika Serikat
sebagai standar utama, maka sejak tahun 1986 nilai mata uang
rupiah sudah dikaitkan dengan beberapa mata uang dunia yang
kuat (basket currencies). Tujuan utama kebijakan ini
adalah agar nilai tukar rupiah menjadi lebih realistis, karena tingkat
kurs yang berlaku ditetapkan atas permintaan dan penawaran pasar.
Dalam sistem ini nilai mata uang akan mengalami
kenaikan (apresiasi) dan penurunan (depresiasi),
sehingga daya saing ekspor akan dapat dipertahankan.
Namun dalam kenyataannya sejak
diberlakukannya kebijakan tersebut nilai rupiah cenderung mengalami penurunan
terus menerus (depresiasi). Keadaan ini walaupun mungkin
memberikan dampak yang baik terhadap peningkatan ekspor, namun demikian belum
tentu menimbulkan dampak yang baik terhadap kegiatan
ekonomi lainnya, seperti nilai tukar dagang (terms of trade),
neraca pembayaran, dan bahkan pada laju pertumbuhan ekonomi dalam negeri.
Mengacu pada kondisi tersebut, maka
adanya dampak penurunan nilai mata uang rupiah (depresiasi)
tersebut terhadap nilai tukar dagang (terms of trade) dan
pertumbuhan ekonomi Indonesia.