Kamis, 17 Mei 2012

Aleta Baun: Menyusui Batu dan Mengasuh Tanah

“Pada waktu aksi-aksi demo, perempuan-perempuan di Molo mengeluarkan payudaranya untuk menunjukkan kalau tanah kami diambil sama dengan air susu ibu diambil, dan kami tidak akan bisa menyusui lagi” —Aleta Ba’un.
Sungguh benar perumpamaan perempuan dengan tanah, kedua makhluk ini adalah “khalifah” Tuhan untuk melestarikan kehidupan, dari keduanya pula segala keberlangsungan hidup berasal. Karena itu, perempuan dan tanah ditautkan oleh hubungan emosi yang sangat kuat. Apabila salah satu di antara mereka disakiti yang lainnya tergerak untuk melakukan pembelaan. Ketika kelestarian tanah terancam kaum perempuan berdemonstrasi di garda depan.
Pergerakan perempuan inilah yang terjadi di Pulau Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kabupaten Timur Tengah Selatan. Tanah Kabupaten itu membentuk gundukan pegunungan yang indah dan mengandung kekayaan marmer sehingga sangat menggiurkan bagi kaum penjarah untuk mengeruknya. Dan kaum perempuan di sana—disebut oleh Kelik Ismunandar—“para mama”i tak hanya mengasuh anak, namun juga mengasuh tanah. Perjuangan kaum perempuan yang berontak: melawan dan menolak pertambangan marmer.
Seorang dari “para mama” itu yang termasyhur bernama Aleta Ba’un yang menyerahkan seluruh hidupnya untuk gerakan perlawanan. Aleta Ba’un akrab disapa Ma Leta. Ia adalah koordinator pejuang perempuan bagi masyarakat Molo untuk menolak buldozer-buldozer yang akan menggusur pegunungan Molo. Perempuan 42 tahun ini mengisahkan perjalanan hidupnya kepada Yayasan Jurnal Perempuan setelah menerima Anugerah Saparinah Sadli 2007, Agustus tahun lalu.
“Tanah tidak melahirkan tanah, manusia akan bertambah banyak, namun tanah akan semakin sempit,” tutur Ma Leta menjelaskan alasan pergerakannya kepada Nur Azizah, Kontributor Yayasan Jurnal Perempuan.
Ma Leta sadar tanah kelahirannya yang mempesona, namun juga bisa mendatangkan bencana. Pegunungan Molo yang terletak di Kabupaten Timur Tengah Selatan terdiri dari 63 gunung yang diperkirakan mengandung 3,5 trilyun meter kubik marmer. Bila gunung-gunung itu dikeruk berakibat fatal. Bagi Ma Leta, Molo adalah jantung Nusa Tenggara Timur kalau tanah di Molo rusak, maka seluruh penduduk di Pulau itu akan memperoleh dampak buruknya.
“Molo adalah jantung dan daerah tangkapan air bagi seluruh NTT. Kalau kejahatan pengrusakan sumber daya alam dibiarkan di Molo, mau tak mau NTT akan mengalami kesulitan terutama kekeringan karena dia sumber mata air yang mengalirkan air hingga ke hilir. Dia sebagai hulu dari NTT dan orang selalu mengatakan Molo adalah jantung NTT,” katanya.
Riwayat hidup masyarakat di Molo akan musnah. Di Pegunungan itu terdapat 5 kecamatan dan 42 desa dengan jumlah keluarga tiga ribu sampai empat ribu.
Untuk mengorganisir pelawanan dibentuklah sebuah organisasi bernama OAt (Organisasi Ataimamus) yang berasal dari kesepakatan tokoh-tokoh adat di sana. Menurut pengakuan Ma Leta masyarakat adat juga pecah, mereka yang menolak penambangan, dan mereka yang menerima. Karena ijin penambangan sebelum adanya kesadaran masyarakat Molo untuk melawan juga keluar dari proses adat.
Perusahaan penambangan berhasil memecah masyarakat adat di Molo. Kaum bangsawan yang terdiri dari raja-raja didekati dan setuju dengan penambangan itu. Sedangkan tokoh-tokoh masyarakat yang membentuk majelis permusyawaratan adat Molo sangat menentang keras. Melalui permusyawaran tokoh-tokoh adat di sana mereka mendirikan OAt sementara Ma Leta dipercaya sebagai koordinatornya.
Ma Leta hanya lulus SMA, ia mulai mengenal dunia pergerakan dari sebuah yayasan yang peduli terhadap masalah-masalah perempuan di NTT, namanya Yayasan Sanggar Suara Perempuan (SSP). Ma Leta aktif sejak tahun 1993. Namun ketika tanah kelahirannya dirongrong pengusaha pertambangan, ia merasa terpanggil oleh suara-suara tanah di sekitarnya yang terus menjerit. Pada tahun 2004, Ma Leta memutuskan keluar dari Yayasan Sanggar Suara Perempuan dan berkosentrasi dalam pergerakan melawan pengrusakan lingkungan.
Bagi Ma Leta, ada hubungan yang sangat kuat kekerasan dalam rumah tangga dan seksualitas dengan kekerasan yang berasal dari rusaknya lingkungan dan krisis ekonomi. “Sumber kekerasan ini muncul ketika pangan dalam satu rumah tangga itu tidak dipenuhi. Dan bebannya akan menumpuk pada kaum perempuan,” katanya.
Dan kunci utama bagi Ma Leta untuk mengurangi kekerasan terhadap perempuan terletak pemenuhan pangan dan perlindungan terhadap lingkungan. “Pangan dan sumber daya alam kalau tidak diganggu, perempuan akan sejahtera, karena segala kebutuan hidup masyarakat telah terpenuhi, kalau pangan dan kebutuhan ekonomi tercukupi maka kekerasan terhadap kaum perempuan akan menurun dengan sendirinya,” tutur Ma Leta.
Perjuangan Ma Leta ini merambah medan yang sangat berbahaya. Sejak memutuskan untuk melawan, pola hidup Ma Leta sangat berubah bila dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Ia tak lagi bisa dijumpai di rumahnya. Riwayatnya bukan lagi hanya sebagai ibu rumah tangga saja namun sebagai perempuan yang terus berjuang dan bergerilya: keluar masuk kampung, naik-turun gunung, dan lebih banyak hidup di hutan serta pengungsian. Ma Leta menjadi taget sasaran perusahaan pertambangan, ia dicari-cari dan dikerjar-kejar oleh preman yang menurut pengakuanya dibentuk perusahaan dan pemerintah daerah untuk menghentikan perlawanan organisasi adat yang dipimpinya.
Karena menjadi target buruan, Ma Leta pernah harus dievakuasi. Pada bulan April 2007 saat ia baru pulang dari sebuah kampung untuk pulang, preman-preman itu melakukan sweeping di jalan-jalan untuk mencarinya. Ia terpaksa bersembunyi di kolong jembatan, namun ketahuan juga, dia peras setelah kaki kanannya dibacok. Selanjutnya Ma Leta harus dievakuasi oleh pada aktivis PIKUL (Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal).ii
“Selama memimpin masyarakat, saya selalu diintimidasi, selalu dikejar, kaki kanan saya dibacok. waktu itu saya juga lari bersembunyi di kolong jembatan, preman itu memeras minta uang 400 ribu, agar nyawa selamat saya serahkan uang 200 ribu yang saya punya waktu itu,” kata Ma Leta sambil menunjukkan bekas bacokan di kaki kanannya.
Kekerasan fisik terus dialami Ma Leta. Ia pernah dipukul di depan kantor pengadilan karena berani menggerakkan masyarakat untuk menggugat bupati. Rumahnya dilempari batu oleh para preman, kaca jendela pecah, sehingga ia berserta suami dan anak-anaknya terpaksa mengungsi hingga saat ini. Ma Leta memiliki tiga orang anak, yang pertama kelas tiga SD, yang kedua kelas satu SD dan ketiga masih berumur satu tahun lebih. Suatu hari suaminya, yang seorang guru, pernah menjadi sasaran teror pembunuhan. Sang suami, Godlif Sanam, pun memprotes dan meminta Ma Leta mengakhiri perjuangannya. “Tapi, setelah saya berikan pengertian, ia pun ikhlas mendukung perjuangan saya sampai titik darah terakhir.”
Tak hanya kekerasan fisik, Ma Leta juga menjadi sasaran pembunuhan karakter. Hidupnya yang tak pernah di rumah, selalu berpindah-pindah dan tak mengenal waktu, ia dituding oleh lawannya sebagai perempuan yang suka keluar malam, sundal, dan pelacur. Ia juga pernah difitnah lari dengan suami orang.
Segala resiko perjuangan dihadapi oleh Ma Leta dengan penuh sabar dan tegar. Ia pun bisa memetik romantisme dari pengamannya sebagai perempuan pergerakan. Kehidupannya bersama keluarga sekarang menurut Ma Leta, kadang dianggapnya lucu. “Saya seperti belajar pacaran lagi dengan suami, karena kalau ketemu dengan suami hanya beberapa jam. Bertemunya pun di rumah orang, datang malam, pisah tengah malam.”
Namun juga sebagai manusia biasa, sebagai perempuan dan ibu, Ma Leta tetap merindukan keluarga, kedamaian, dan ketenangan. “Saya sebenarnya sangat rindu pada anak dan suami, namun persoalan ini tidak bisa membuat saya kembali ke rumah secepatnya. Dampak dari pengrusakan lingkungan ini secara pribadi akan menimpa suami dan anak saya, tapi biarlah saya yang berkorban daripada anak dan suami yang memang tidak tahu banyak hal.”
Ma Leta sangat mengenal kearifan orang Molo memandang tanah mereka. Dalam masyarakat itu dikenal filosofi “uim bubu” (ume = rumah) yang berdiri kukuh dengan amnesat, nij, dan tefi. Amnesat berarti dasar, yang diibaratkan sebagai oekanaf (air), yang penyangganya adalah fatukanaf dan haukanaf (batu dan kayu). Nij adalah tiang, yang diibaratkan sebagai afu (tanah), yang merupakan tempat bertanam, beternak, dan mendirikan rumah. Dan tefi berarti atap, yang diibaratkan sebagai pena nok ane (jerih payah) yang diperoleh dari hasil pemanfaatan oekanaf, fatukanaf, haukanaf, serta afu. Filosofi di atas meneguhkan bahwa Molo tidak bisa dipisahkan dari tanah, hutan, air, batu, kayu, serta binatang-binatang yang hidup di dalamnya.iii
Ma Leta adalah seorang feminis sejati, ia berjuang menggunakan bahasa dan cara perempuan. Komentar-komentarnya tentang “tanah yang tak bisa melahirkan tanah”, kelestarian alam yang dihubungan dengan jati diri perempuan adalah alasan dan bahasa dia dalam menggerakan kelompok perlawanan.
“Perempuan selama ini mungkin dianggap tak berdaya untuk berjuang, berbicara, dan mengambil keputusan apa-apa, mereka dikira tak mampu melawan siapa-siapa, tapi ketika mereka punya sumber daya alam diambil, tanah mereka dirampas, air mereka diganggu, itu seperti mencopot nyawa mereka,” tegas Ma Leta.
Pun dalam cara penentangan ia adalah perempuan sejati: mengumpulkan perempuan-perempuan lain di Molo untuk bergerak. Mereka berdemo sambil mengeluarkan payudara mereka. Kata Ma Leta, “pada waktu aksi-aksi demo, perempuan-perempuan di Molo mengeluarkan payudaranya untuk menunjukkan kalau tanah kami diambil sama dengan air susu ibu diambil, dan kami tidak akan bisa menyusui lagi.”
Karena perjungannya itu pula, Ma Leta pernah menjadi kandidat penerima hadiah Nobel tahun 2005 bersama seribu kandidat perempuan lainnya. Juni 2007, ia mendapat kehormatan bertemu dengan Hina Jilani, Perwakilan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar